20. Argumen

1.6K 111 22
                                    


20. Argumen

Ken berjalan angkuh di koridor kelas dua belas yang sedang ramai-ramainya saat jam istirahat. Dengan wajah berseri dan senyum bahagianya yang begitu menawan cowok itu sukses membuat para siswi di sekelilingnya lupa berkedip.

"Haha," Ken tertawa, menyita perhatian teman-temannya.
"Hahaha," tawanya semakin 'tak bisa ditahan.

Sam di sebelahnya menatap Ken horor, "gila lo?"

"Buahahahahaha!" Ken justru tertawa ngakak. Membuat Sam menoyor kepalanya karena kesal.

"Gila beneran ini kayaknya." Adam ikut berasumsi.

"Ngaco lo." Ken menyangkal, mati-matian berusaha menahan tawa.

"Terus apa namanya kalo bukan gila? Yang ketawa-ketawa sendiri kayak lo ya cuma orang gila." Sam tersenyum meremehkan.

"Nah itu," Adam menyahut membenarkan. Ken tidak peduli.

"Eh ini kita sebenernya mau kemana sih?" tanya Sam kepo.

Ken nyengir lebar, "nyari calon pacar gue."

"Wuihhh, yang ke berapa nih?"

"Ke-te-mu."

Eca menyerapah. Bisa-bisanya cowok itu menemukannya dengan cepat.

"Hah?" Sam bertanya pilon. Tapi setelah menangkap keberadaan Eca cowok itu mangut-mangut mengerti.

"Jadi ... apa pilihan lo?" Ken bertanya ceria, bersandar di dinding sembari melipat kedua tangannya di depan dada.

Eca mendelik sebal. Masih terekam jelas wajah sombong Ken malam itu__saat memenangkan taruhan.

"Nanti aja jawabnya gue sibuk." Eca nyaris pergi jika saja Ken tidak menarik kerah baju Eca seperti menjinjing anak kucing. "Ihhh, lepas!"

"Jangan coba-coba kabur ya lo." Ken memperingati.

"Gue gak kabur!" Eca melotot galak. Memutar tubuhnya agar saling berhadapan dengan cowok bernama Ken. "Bisa gak sih lo gak rese sama gue?"

Ken mengangkat sebelah alis 'tak mengerti. "Rese gimana?" Tangan cowok itu terulur menyentuh bahu Eca, "bukannya cewek cantik ini yang rese? Dari pagi terus ngehindar dari gue, hmm?" Lanjutnya dengan senyum miring.

"Ckkk!"

"Apa pilihan lo?"

"Gue mau jadi pembantu lo," Eca mencicit pelat. "Inget cuma lima belas hari!"

"Yakin gak mau jadi pacar gue aja? Jadi pacar gue lo bakal disayang-sayang."

Mendengar itu si gadis bermanik biru mendesis jijik. "Gak. Makasih!" jawab Eca ketus.

"Ok."

Kali ini Ken mengusap puncak kepala Eca. Membuat cewek itu mencebik 'tak suka.

"Besok lo bisa mulai kerja," ucap Ken tersenyum bahagia.

"Gue cariin ternyata di sini." Adela yang sedari tadi mencari-cari Eca berucap lega. "Ayok ke kelas."

"Iiihhhhhhhh!" Kesal Eca sembari menghentak-hentakkan kakinya.

"Lo kenapa Bill? Gue dateng kok ngamuk?"

"Ken,"

"Ken?"

"Ken bener-bener minta dimatiin," kata Eca berapi-api.

Yaaa, malam itu Ken memenangkan balapan. Padahal Eca sudah sangat percaya diri untuk menang, selama ini reputasinya baik di area lintasan. Tapi ... hanya dalam waktu satu malam image-nya hancur, kesombongannya di garis start dipatahkan dengan kejam oleh Ken di garis finish.

Hanya beda beberapa senti meter saja, tapi cukup membuat gadis pirang itu sanggup untuk menenggelamkan dirinya di tengah laut. Benar-benar memalukan.

***

Di sinilah Saka berada, di taman yang terletak di tengah kota. Menemui seorang gadis yang berhasil menerobos masuk ke dalam hatinya bahkan saat hati Saka telah dimiliki oleh gadis lain.

"Saka ... aku sayang sama kamu," Inka mendongak, menatap Saka sendu.

Saka menghela napas, wajahnya berubah keruh. "Gue juga sayang sama lo, dulu. Sekarang? Gue bahkan gak mau liat muka lo lagi."

Sakit. Itulah yang dirasakan Inka saat kalimat kejam itu meluncur dengan mudah di bibir Saka.

"Kamu udah gak bisa kembali lagi sama Eca, apa salahnya kal-"

"Itu semua gara-gara lo!" Bentak Saka kesal. Dicengkeramnya kedua bahu gadis itu erat. "Harusnya kita gak saling kenal, harusnya kita gak saling nyaman satu sama lain, harusnya gue gak main api sama lo!" teriak Saka penuh luka. Dia marah pada dirinya sendiri. Dia menyesal, tidak dia benar-benar menyesal telah mempermainkan perasaan Eca, menyakiti gadis itu hingga memutuskan untuk pergi.

Dia egois karena memperlakukan Eca seperti sebuah boneka, menuntut gadis itu untuk menuruti semua keinginannya. Dan Eca bahkan tidak pernah merasa terkekang walau dikekang, selalu lembut walau Saka adalah kasar, juga tetap senang walau dia menghukum gadis itu karena sesuatu hal yang sama sekali bukan kesalahannya. Eca wanita terbaik yang menerima semua sisi gelap Saka, tapi dengan bodohnya Saka justru berpikir ada gadis lain yang bisa melengkapi hidupnya, mematuhi keegoisannya, menggantikan Eca yang terkadang melanggar aturannya. Aturan yang begitu 'tak adil untuk Eca.

"Kenapa selalu aku yang kalian salahin!" Inka berteriak serak. Air matanya tumpah ruah. "Mungkin Eca pantes nyalahin aku, aku terima. Tapi kamu!-" Inka menatap Saka terluka. "Apa kamu gak merasa bersalah? Aku gak mungkin masuk dalam hubungan kaliam kalo kamu gak ngasih ruang. Mikir!" Sinis Inka pada Saka. Niatnya gadis berambut sebahu itu ingin berbicara baik-baik, agar menemukan titik tengah yang menguntungkan untuk semua pihak. Tapi Saka memang pria yang buruk, dia justru semakin memperburuk keadaan dengan menyakiti lebih banyak hati. Dan sialnya Inka jatuh cinta pada pria seburuk Saka.

Saka diam, tidak ada sepatah kata pun yang berhasil menembus kerongkongannya. "Lebih baik kita gak ketemu," ucap Saka setelah lama bergeming, kemudian berbalik pergi.

"Jangan jadi pengecut, Ka! Apa kamu gak mau selesain masalah ini?!" Inka berteriak. Terisak-isak, gadis itu mencoba menguatkan hatinya.

Saka yang berhenti melangkah, menoleh 120° ke arah Inka. "Lo mau selesai yang kayak gimana lagi? Bukannya semua kekacauan ini udah lebih dari kata selesai?"

Inka mengepalkan tangannya erat, hatinya berdenyut sakit. Bukan ini yang dia mau, kenapa Saka tidak mengerti juga?

Dia bermain api bukan untuk terbakar. Tapi hukum alam berkata lain; jangan bermain api jika tidak ingin terbakar. Dan itu sungguh sangat jelas.

Inka juga sadar akan hal itu, namun hatinya menolak keras untuk disalahkan.

_Tbc_

Kalem, jangan emosi dulu guys. HAHAHA

See u beib

Jangan lupa vote sama komennya;))

Sankyuuu readers tercintah♡♡

Goodbye Cupu! [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang