sembilan belass.

812 50 26
                                    

19 - berulah lagi?

"Emangnya, Nayya kemana, Dok?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Emangnya, Nayya kemana, Dok?"

**

Aku harus ikutin Axel!

Aku bener-bener penasaran.

Kenapa Axel sama sekali gak kasih tau apa-apa?

Ada urusan apa Axel mau ke Spanyol?

Avista mondar-mandir di kamarnya, dia tidak jadi mencuci bajunya, pikiranya dikaluti dengan rasa penasaran sekaligus heran.

Avista menatap kosong ke depan, saat dirasa cukup lelah mondar-mandir, dia menduduki pinggir ranjang, wajahnya khawatir, dia mengingat telepon tadi pagi.

"Kamu kapan jemput aku? Bantuin aku kemas barang dong, Xel."

Avista memutar otaknya, sedikit tidak menyangka, apa Axel akan pergi dengan wanita yang tadi pagi menelponnya?

Avista kembali menangis, dia menenggelamkan kepalanya pada kakinya yang meringkuk. Tubuhnya mengesot ke belakang untuk bersandar di kepala ranjang.

Avista memeluk kakinya yang melipat, dia menaruh dagunya di atas lututnya. Apa Axel akan berulah lagi? Mengapa? Apakah hati Axel masih berfungsi? Membayangkan apa yang akan Axel lakukan di sana saja Avista tak sanggup.

Bukannya berburuk sangka, tapi suaminya ini ... sungguh, Avista sangat tidak ingin itu terjadi.

Pergi ke luar negeri, hanya berdua? Dengan wanita itu?!

Avista memegangi kepalanya dan sedikit menekannya kuat. Dia mengambil brosur itu kembali yang terjatuh di karpet bawah ranjangnya.

Avista menegang saat membacanya lebih detail lagi, penerbangannya pukul 15.00 sore. Dia menatap jam di kamarnya,  sudah jam 13.45, Avista membulatkan matanya.

Mencoba berpikir positif, Avista melihat lemari baju mereka dan membuka bilik pakaian milik Axel, Avista tau semuanya. Avista yang merapikannya juga.

Dengan jantung yang memompa cepat, dan matanya yang menatap nanar, Avista perlahan menarik laci dari bilik kemarin Axel.

Yang Avista ingat, paspor dia simpan di bagian paling atas, sedang di bawah-bawahnya ada surat-surat lain.

Avista memejamkan matanya saat sudah menarik laci itu untuk terbuka, ia terlalu takut untuk melihatnya.

Setelah beberapa saat, Avista membuka matanya perlahan-lahan. Air matanya jatuh, lagi. Membuat genangan dan aliran kecil di pipinya.

Matanya tidak menangkap keberadaan paspor Axel, Avista langsung menutup laci itu dengan kencang, dia terduduk dan bersandar pada lemari baju itu.

Avista mencengkram kaus yang dipakainya sekarang, pelipisnya berkeringat tangannya basah. Tiba-tiba, Avista langsung mengusap wajahnya kasar, menghapus air matanya.

Stay Here [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang