tiga puluh sembilann.

972 55 46
                                    

39 - pamit?

39 - pamit?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Aku ... sama Mama kamu ...."

**

"Ma ... bangun."

"Mama bilang Mama sehat 'kan?"

Fany menangis saat tangannya menyentuh telapak tangan Avista yang terasa dingin. Air matanya semakin membanjiri wajah Fany. Dia mengelus pipi Avista yang bersih tanpa noda sedikitpun.

"Fany kangen sama Mama," lirihnya. Fany membiarkan air matanya terus jatuh dan mengenai lengan Avista. dia menoleh ke jendela, bahkan sinar matahari pun terlihat redup, seakan tau hati Fany sedang tidak secerah biasanya.

Angin sayup-sayup menerpa wajah Fany, angin sayup yang cukup dingin dan membekukan dinding. Fany semakin menggenggam erat tangan Avista. Fany terdiam menatap wajah Avista kembali.

"Mama kangen sama Fany juga 'kan?" gumamnya sendiri. Kedua tangan Fany membingkai wajah Avista, dan seketika sayup angin itu datang kembali, dengan lebih kencang.

Fany menyeka rambut Avista dan menyembunyikannya ke belakang telinga. Tangan Fany terlihat bergetar hebat, ketakutan apa yang dikatakan dokter terus menjalar sampai ke urat nadi Fany.

Avista sudah tidak bisa diselamatkan. Dia ... sudah waktunya. Sudah waktunya untuk istirahat panjang.

Fany menelan air liurnya dengan susah payah. "ENGGAK 'KAN MA?!" histeris Fany, "mama masih di sini 'kan? Mama gak kemana-mana 'kan?" air matanya semakin deras. Fany menggeleng-gelengkan kepalanya.

Fany mengusap lengan Avista kali ini. "Aku gak mau punya Mama, selain Mama," gumamnya dengan suara yang bergetar.

"Aku gak mau punya ibu tiri, Ma!"

Dunia Fany seakan luntur saat mendengar apa kata dokter barusan. Warna-warna di bumi seakan menghilang, meluruh bersama air mata Fany.

"Aku kangen sama Mama," ucap Fany lagi, mengulangi apa yang sudah dia katakan sebelumnya.

"Fany kangen suara Mama," jeritnya, Fany mencengkram selimut yang dipakai Avista dengan kencang, kemudian menangis sambil menjatuhkan wajahnya di kasur yang Avista pakai.

"Fany juga kangen sama sarapan buatan Mama, hiks," Fany menyedot lendir dari hidungnya beberapa kali. Wajahnya sudah sangat basah karena keringat dan air mata.

"Ayo Ma, bangun."

Fany menyeka air matanya kembali dengan baju. Bahunya bergetar hebat, matanya sudah bengkak. Dua orang yang berharga di hidup Fany sedang terbaring lemah.

"Ma, Fany mau curhat sama Mama," ucap Fany, mengangkat kembali wajahnya dari kasur. Fany menatap mata Avista yang tertutup dengan lekat.

"Vano juga lagi sakit, sekarang Fany punya siapa kalo kalian berdua gak ada di sisi Fany?!" tukas Fany. Mengusap wajahnya dengan kasar.

Stay Here [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang