dua puluh satuu.

884 47 26
                                    

21 - gugatan perceraian

"Ini anak aku! Bukan anak-anak kita!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Ini anak aku! Bukan anak-anak kita!"


*


Avista terus menangis dalam dekapan Zidan, dia sudah tidak peduli lagi dengan status mereka. Air matanya membasahi piyama Zidan.

Tapi, Zidan tidak membalas pelukannya.

Avista mengelus punggung Zidan, jika saja ini Axel, mungkin sudah Avista cakar punggungnya. Avista sesenggukan, dia semakin membenamkan wajahnya di dada bidang Zidan.

Setelah tangisannya mereda, Avista menarik kepalanya dari dada Zidan. Dia mengelap tangisan air matanya dengan lengan blazernya.

Avista masih berdiri di depan Zidan, dia terus saja menghapus air matanya, Zidan melihatnya dengan prihatin. Sudah sangat yakin, pasti Avista bertemu Axel yang sedang berulah di sana.

"Ta? Rasanya sakit banget ya?" tanya Zidan tiba-tiba, memulai pembicaraan karena sedari tadi mereka berdua hanya diam dengan Avista yang terus menangis.

Avista mendongak, dia selesai mengelap wajahnya, walaupun matanya masih sedikit basah, Avista berusaha memaksimalkan penglihatannya, "Dokter gak bakal tau rasanya gimana, kalo dokter gak ngalamin ini," lirih Avista, menatap manik mata Zidan dengan dalam.

Zidan tersentak, dia memajukan tubuhnya sedikit, memangkas jarak mereka lagi, lalu Zidan menengadahkan kepalanya, melihat ke langit malam yang tidak terdapat bintang. Tentu, dia berupaya agar air matanya tidak lolos.

Dirasa sudah aman, Zidan memperhatikan Avista lagi, wajahnya  benar-benar sembab, Zidan tak yakin Avista hanya menangis sejak di halaman rumahnya.

Avista pasti menangis lebih lama dari itu.

Dengan satu kali tarikan, Zidan memeluk Avista kali ini. Dia mengusap rambut Avista yang tergerai, Aku tau rasanya, Ta. Iya, ini sangat menyakitkan.

Zidan melepas pelukannya. Pelukan yang sangat singkat tapi menenangkan hati Avista. Akhirnya, senyuman kecil terlihat di wajah putih Avista.

"Dok, anak-anak saya ngerepotin ya?" tanya Avista sembari memiringkan kepalanya untuk melihat ke dalam rumah.

Zidan ikut tersenyum, disertai dengan lesung pipinya, Zidan menggeleng, "Enggak kok, Fany akur banget sama Vino, Vinka juga. Dari kemarin siang, mereka main bareng," jelas Zidan, dan mulai membuka pintu rumahnya untuk jadi lebih lebar.

"Yuk, masuk!" ajak Zidan agar Avista duduk sebentar.

Avista menggeleng, dia tersenyum lembut pada Zidan, "Enggak usah, Dok. Saya pulang aja, tolong ... panggilin anak-anak saya, Dok."

Zidan paham, dia mengangguk lalu permisi untuk pergi ke dalam. Avista menunggu di luar, dia menatap ke luar halaman lagi, masih mengingat kejadian beberapa jam yang lalu.

Stay Here [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang