"Seharusnya dia tidak mati secepat ini."
**
Avista memegangi dadanya, jantungnya terasa berdetak dengan kuat. Kepalanya langsung nyeri dan matanya seketika seperti tidak berfungsi. Napasnya tertahan, alis Avista terpaut jelas, tak lama setelahnya Avista menggeleng.
"Hey, apakah seburuk itu aku di matamu, Laurel?"
Kini Avista merapatkan mulutnya kembali, satu tangannya terangkat untuk menutup bibirnya. "Kau lebih buruk dari yang terburuk, Axel!" jerit Avista.
Axel membuka matanya lebar, namun setelahnya dia langsung mengontrol wajahnya kembali tenang. Axel melangkah maju, berusaha untuk menghampiri wanitanya yang kini tampak lebih cantik walau sedang menangis.
"Hey, jangan menangis," ucap Axel.
Gelengan kepala Avista semakin kuat, sekarang satu tangannya yang lain dia angkat. Memberi aba-aba pada Axel untuk jangan maju mendekat padanya.
"Diam di situ!" teriak Avista, wajahnya sudah memerah.
Axel tidak menggubris perkataan Avista, dia masih melangkah maju.
"Axel, jangan dekati aku!"
Avista semakin menekan mulutnya dengan tangan kanannya. Tangan kirinya menjulur lurus ke depan, membuka jari-jarinya dan juga telapak tangannya. Mengisyaratkan bahwa Avista tak ingin Axel semakin mendekat.
"Axel! Diam di sana!" jerit Avista, suaranya kini serak. Dia berteriak terlalu kencang, tenggorokannya terasa sakit.
"Kau ... takut padaku?"
Sembari Axel yang terus melangkah mendekat pada Avista, kini Avista yang mundur untuk kembali membuat jarak antara Axel dan dengannya.
"Kau gila! Manusia mana yang tidak takut padamu, bodoh!"
Tiba-tiba Axel berhenti. Kakinya terasa mematung dan sulit untuk digerakkan. "Semenyeramkan itukah, aku?" gumam Axel yang bertanya dengan suara kecil.
"Lihatlah wajahmu! Seperti orang tidak normal! Kau menakutkan, menyeramkan, dan tidak sedap dipandang!" bentak Avista. Kini punggungnya telah menyentuh tembok. Avista sudah tidak bisa berjalan mundur kembali.
"Kau terlalu memperhatikan fisikku, Laurel," imbuh Axel. Alisnya menyatu, bibirnya sedikit menurun ke bawah. Axel pasti merasa harga dirinya rendah, karena mendapat cacian kasar, apalagi dari Avista.
Avista menggeram serak. Darahnya terasa mendidih. "Kalau begitu bagaimana denganmu?! Kau yang selalu membanggakan wajah tampannya, apa itu kau tidak memerhatikan fisikmu?!" Napas Avista terengah-engah. Dia benar-benar emosi.
"Itu dulu, sekarang tidak—"
"Jelaslah tidak! Sekarang apa yang akan kau banggakan?! Kau tidak punya apa-apa! Orangtuamu pergi meninggalkanmu selamanya, beserta semua masalah yang kau buat sendiri! Uang-uangmu sudah hilang! Saham terbesarmu bahkan sudah tidak ada! Dan lagi, wajahmu ... wajahmu buruk! Tidak ada yang bisa kau banggakan sekarang!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Stay Here [END]
RomanceCerita Vano - Fany [15+] ❝ Kenapa aku dilahirkan, if I'm not w a n t e d? ❞ ** Private acak, harap follow sebelum baca. ** SEQUEL DARI STORY 'AXELLA' ___________________________ Fanya Shaenetta Aracelly Faresta, keturunan keluarga Faresta yang bis...