tiga puluh tujuhh.

914 45 32
                                    

37 - VANOOO!

"Aku suka sama kamu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Aku suka sama kamu."

**

Fany menarik selimutnya sampai batas leher. Dia menyedot lendir yang keluar dari hidungnya karena menangis. Fany sesenggukan dan bahunya bergetar dengan hebat.

Tak ada seorangpun yang menginginkan dirinya hancur, penuh luka, dan tidak bahagia. Khususnya Fany, hari ini, tepat tadi siang, pihak rumah sakit memutuskan untuk segera melepas semua alat-alat bantu yang menempel di tubuh Avista, mama Fany.

Dikarenakan hampir tiga bulan ini, Avista belum juga sadar dari tidur panjangnya. Pihak rumah sakit mengatakan semuanya telah mereka lakukan. Semuanya sudah saatnya, itu kata mereka.

Avista, sudah saatnya untuk istirahat.

Fany tak percaya itu! Avista masih ada di alam yang sama dengannya, Fany yakin. Fany masih merasakan banyak kesempatan bagi Avista untuk kembali sadar. Dia merasakannya.

Beruntung, setelah menghadapi cekcok Axel dengan Zidan dan beberapa dokter lainnya, Axel rela membayar lima kali lipat, ditambah Viona dan Reza yang juga memberikan dana agar alat yang masih menempel di tubuh Avista tidak dilepas.

Setiap tetes air mata yang mengucur dari sudut wajah Fany, merupakan cara untuk mengutarakan kesedihan saat bibir kelu untuk bicara, saat lidah kaku untuk bergerak, dan saat pita suara seakan diikat.

Fany mengusap wajahnya dengan kasar, dia mengelap lendir di hidungnya dengan lengan piyama yang cukup panjang itu. Fany menatap lurus ke depan, tubuhnya rebahan miring ke arah pintu.

Fany mencengkram selimutnya dengan tangan yang berkeringat. Napasnya memburu karena sesenggukan menangis. Fany hanya memikirkan, bagaimana nantinya dia akan menjalani hidup tanpa Avista?

Tulang-tulang Fany melemas, seakan melembek seperti bubur. Bahkan untuk berdiri saja rasanya sangat berat. Fany benar-benar berada dalam lingkaran luka.

**

Vano mengerucutkan bibirnya, dia melempar pulpen yang baru dia pakai ke sembarang arah. Lalu Vano meringis kuat, dia menjambak rambutnya sendiri karena kesal.

"Kenapa sih, Aletta pake hancurin waktu-waktu aku bareng sama Fany!?" tanya Vano entah untuk siapa, dia terus saja menggeram serak. Sekarang rahangnya terlihat sangat keras. Vano tebak, pasti setelah dia pulang ke rumah, Vino memanfaatkan keadaan.

"Semuanya gara-gara Aletta, huh!" geramnya. Mata Vano menghunus tajam pada telepon di ponselnya yang berbunyi nyaring. Sebelum mengambil ponselnya yang berada di nakas, Vano memukul bantal dulu sekali.

Stay Here [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang