Rambut cepaknya yang sedikit berantakan tersorot cahaya mentari mebuat rambutnya terlihat kecoklatan. Kaos oblong bewarna putih polos melekat di tubuhnya dengan apik. Dia melangkah mendekat seolah tau aku sedang linglung dan kebingungan.
Jarak kami sekarang satu jengkal. Aku melihat lengkung di wajahnya dan melihat cahaya semesta yang lembut ada di matanya seolah memanggilku dan menjalarkan kehangatan ke seluruh tubuhku. Aku menunduk malu, kualihkan pandanganku ke arah sepatuku. Menatap matanya membuatku merasa sedikit gugup. Sebenarnya ingin sekali aku memeluknya, mendekapnya, tapi itu tak mungkin. Lagi pula itu tidak akan terjadi. Aku hanya penggemar, pengagumnya tak kurang dan tak lebih.
Betapa kagetnya aku ketika dia membawa tubuhku kedalam pelukannya. Dia melakukan apa yang aku pikirkan. Tuhan benarkah itu dia? Tanganku refleks mebalas pelukannya. Hatiku lagi-lagi menghangat. Kutumpahkan kerinduanku di sana, kupeluk dia begitu erat, dan rasanya tak ingin kulepas. Ini terlalu nyaman dan terlalu hangat. Dia mengelus punggungku, menenangkan. Rindu itu tumpah dalam dekapannya. Aku terisak.
"Iqbaal ini kamu benerankan?" tanyaku.
Sang empunya hanya mengangguk disertai senyuman. Lengannya menarik lenganku. Membawaku keluar rumah. Iqbaal pemuda itu mendekat ke arah motornya yang sudah dari tadi bertengger di depan gerbang rumahku. Tangannya bergerak mengambil helm yang tergantung di belakang motornya dan memakaikannya di kepalaku. Tubuhnya yang jangkung membuatnya sedikit menunduk ketika memakaikan helm di kepalaku. Setelah memakaikannya di kepalaku dia juga memakai helm untuk dirinya sendiri.
Iqbaal menaiki motornya dan melirik kearahku lalu beralih melirik jok di belakangnya. Paham apa yang di maksud iqbaal akupun ikut menaiki motornya dan memboncengnya. Lembayung senja menemani perjalananku dan iqbaal. Rasanya senang sekali bisa berjalan-jalan dengannya walaupun hanya memutari komplek perumahanku tapi itu sudah cukup membuatku merasa senang. sayangnya langit yang awalnya cerah perlahan mendung. Hujan turun rintik-rintik dan perlahan membesar.
Aku tiba- tiba mendengar sayup-sayup suara ibuku memanggil namaku.
"kok Ibu? Iqbaal mana?" ujarku.
"Iqbaal? Mimpi kamu? Udah sana mandi entar ketinggalan kereta loh." Ujar Ibuku sambil keluar dari kamarku.
Tidak ada iqbaal, tidak ada motor yang kami tumpangi, dan tidak pula hujan. Aku hanya menemukan diriku sendiri yang berada di balik selimut dengan guling yang ku peluk dan pajama bermotif unicorn melekat di tubuhku. Juga ibu yang mebawa segelas air yang aku yakini penyebab hujan di mimpiku. Kupeluk lagi gulingku berharap mimpi itu terulang kembali. Belum aku memejamkan mata ibuku sudah memanggil namaku kembali. Aku segera bangkit dari kasurku dan memeluk guling itu satu kali lagi lalu tersenyum geli ketika teringat mimpiku itu kembali.
Aku menatap wallpaper handphoneku. Lucu rasanya berdialog dengan benda tak hidup. Ku taruh kembali handphoneku di nakas. Ku raih handukku lalu dengan cepat berlari ke kamar mandi untuk mandi setelah itu berangkat ke stasiun.
Hodie hitam dan celana jins sudah membalut tubuhku. Aku melangkah menuruni anak tangga sambil sesekali tersenyum mengingat wajah Iqbaal yang begitu memesona tadi malam di mimpiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
HAPPY CODA [IDR]
Fanfiction[SELESAI] "Bukan ngelukis pake kuas Maisha Lubi. Kalo itu si gue yakin lo gak bisa. Senyuman lo yang dua hari ini udah ngelukis hidup gue. Kehadiran lo di Yogyakarta ini yang udah ngelukis memori yang gue rasa paling manis di hidup gue. Makasih yaa...