Pukul delapan malam aku dan keluargaku sedang berkumpul di ruang tengah. Menyantap kue kering dan meminum teh buatan Ibu. Kami saling bercanda, bercerita, dan bertukar pendapat setelahnya.
"Bapak kira pasien bapak udah ga bisa diselamatkan. Di detik-detik terakhir sempet down gitu, tapi lagi-lagi tangan Tuhan bekerja. Bapak bersyukur banget oprasinya lancar."
Kami semua tersenyum mengangguk mendengar cerita bapak. Ngomong-ngomong bapakku adalah seorang dokter spesialis syaraf di salah satu rumah sakit Jakarta. Ibuku juga seorang dokter umum yang bekerja di rumah sakit yang sama dengan bapak. Keduanya sibuk, tapi ibuku tidak terlalu. Ibu lebih sering di rumah dibanding bapak.
Bapak dan ibuku tak pernah menuntutku, Mba Echa, dan Mas Owen untuk menjadi sama seperti mereka. Kata bapak setiap anak itu punya keistimewaan dan bakat tersendiri.
Kami diperbolehkan untuk memilih apa yang kami inginkan. Katanya mereka takut menyesal jikalau memaksakan mimpi kami karena Bapak dan Ibuku tak mau membunuh mimpi anak-anaknya. Kami dibebaskan mau jadi apa di masa depan itu hak kami. Asal membawa kebaikan dan bermanfaat untuk sekitar.Hanya Mba Echa yang mengikuti jejak Bapak dan Ibu. Bedanya, Mba Echa memilih menjadi dokter gigi. Kalau Mas Owen, dia memilih menjadi anak desain karena jiwanya yang begitu artsy membawanya masuk ke sana dan bapakku mendukung. Akhirnya setelah lulus dia bekerja di sebuah perusahaan ternama di Jakarta. Aku sendiri masih kuliah semester dua. Mimpiku menjadi diplomat maka aku memilih kuliah di jurusan hubungan internasional.
"Kamu kuliahnya gimana dek?" tanya Bapak kepadaku.
"Masih aman Pak. Masih semester dua jadi belum keliatan nyebelinnya." kekehku pada bapak yang merangkul bahuku.
"Ah kamu ini bisa aja." sambar Ibuku yang duduk paling ujung.
Kami semua mengalihkan atensi kami begitu suara Mba Echa memanggil bapak dan ibu terdengar. Harusnya si hanya bapak dan ibu yang menengok ke arah Mbak Echa karena hanya merekalah yang dipanggil, tapi entah kenapa aku dan Mas Owen ikutan.
"Iya kenapa Cha?" tanya Bapak menatap lembut ke arah Mba Echa.
"Lusa Bian dan keluarga mau datang main ke sini. Ada yang mau dibicarain." katanya tersenyum gembira.
Bapak dan Ibuku saling berpandangan. Mereka tersenyum bahagia. Aku melempar pandangan ke Mas Owen, kami berdua tertawa.
"Kayanya ada yang bakal nikah di waktu dekat nih." ledek Mas Owen.
"Akhirnya diseriusin jadi ga misah-misuh cerita ke Lubi. Kalau nanti udah nikah kurang-kurangin tuh cemburuannya. Kasian Mas Bian." kataku ikut menggoda Mba Echa.
Mba Echa cuma senyam-senyum tak menghiraukan omonganku dan Mas Owen.
"Gimana? Bapak sama Ibu bisakan? Kalau lusa?"
Bapak memandang ibu. Perempuan itu tersenyum lalu mengangguk menyetujui. Bapak mengalihkan pandangannya ke Mba Echa.
"Bisa dong Cha. Bapak gak nyangka kamu udah dewasa. Di mata bapak kamu masih bayi. Taunya bentar lagi bakal diambil orang." kekehnya bangkit dari duduk lalu menjatuhkan bokongnya di sebelah Mba Echa, merangkul cewek itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
HAPPY CODA [IDR]
Fiksi Penggemar[SELESAI] "Bukan ngelukis pake kuas Maisha Lubi. Kalo itu si gue yakin lo gak bisa. Senyuman lo yang dua hari ini udah ngelukis hidup gue. Kehadiran lo di Yogyakarta ini yang udah ngelukis memori yang gue rasa paling manis di hidup gue. Makasih yaa...