18. Pamit

392 36 3
                                    

"Mau minum apa Baal?" tanyaku pada Iqbaal yang baru saja menjatuhkan bokongya di sofa ruang tamu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Mau minum apa Baal?" tanyaku pada Iqbaal yang baru saja menjatuhkan bokongya di sofa ruang tamu.

"Apa aja terserah. Asal dingin." katanya menatapku yang berdiri tegak siap melangkah menuju dapur.

Aku memganggukkan kepala menyetujuinya. Aku berjalan menuju kulkas mengambil jus jeruk kemasan agar tidak lama lalu menuangnya ke dalam dua gelas kosong yang ku letakan di minibar dekat meja makan.

Selesai. Aku membawanya ke tempatku semula. Menyajikannya untukku dan Iqbaal tentunya.

"Rumah sepi pada kemana?" tanya Iqbaal menatapku yang sudah duduk sambil memegang segelas jus di tangan.

Aku ikut memandang seisi rumah. Benar juga sepi. Aku malah baru sadar.
"Bapak ada shift di rumah sakit, Ibu juga sama kaya Bapak, Mba Eca janjian sama pacarnya, Mas Owen...?" aku berhenti berpikir di mana kakak laki-lakiku itu. Harusnya Mas Owen dan Bi Onah yang tersisa di rumahku. Kemana dia? Tadi yang kudapati cuma Bi Onah yang tengah memasak untuk makan siang. Oh mungkin cowok itu main PS di kamarnya. Jadi anteng tidak keluar-keluar. Aku melirik nakas tempat biasanya alat ps Mas Owen diletakan. Benar, alat itu sudah berpindah ke kamarnya.

"Main Ps di kamar kayanya. Makanya anteng gak keluar."

Cowok itu mengangguk paham.

"Minum Baal. Jadi ngeduluinkan akunya? Haus hehehe." kataku meletakan gelas jus yang tersisa setengah gelas.

Cowok itu tersenyum, lalu meraih gelasnya meminumnya seperempat.

"Jadi apa yang mau kamu omongin? Katanya tadi dateng ke sini mau ada yang diomongin."

Cowok itu diam sebentar. Ia memamdangku begitu lama. Seperti sulit sekali mengatakannya. Iqbaal menghembuskan napasnya pelan, seolah menenangkan dirinya.

"Janji jangan sedih yah?" katanya berdiri lalu berpindah duduk menjadi di sebelahku.

Aku menaikan alisku. Firasatku tidak enak. Jadi dia ke sini cuma mau menyampaikan kabar sedih? Apa yang aku pikirkan salah besar. Untung saja tidak aku lanjutkan pemikiranku itu. Pasti rasanya sakit sekali.

Terpaksa aku menganggukan kepala. Berjanji bahwa aku tidak sedih mendengar kalimat yang akan diucapkannya.

Iqbaal memandangku. Aku balik menatapnya. Ia menatap lurus ke depan, aku juga ikutan. Iqbaal Menghembuskan napas pelan. "Lusa aku balik ke Malbourne." ucapnya to the point.

Aku yang memandang lurus ke depan langsung mentapnya dengan mata membulat. "Secepet itu? Gak bisa satu minggu lagi? Bukan karena aku gak pengin kamu pergi Baal, tapi aku kasian sama badan kamu yang kayanya belum istirahat sama sekali. Kalau lusa pulang harusnya kamu hari ini di rumah aja istirahat. Prepare apa aja yang mau kamu bawa. Bukannya datang ke sini. Kamu kan bisa omongin lewat telepon." kataku memutar mata.

Ku kira cowok itu membawa kabar sedih apa? Ternyata kepulangannya ke negara kanguru itu. Aku tidak masalah kalau soal itu. Memang sedih karena harus berpisah. Tapikan kita bisa bertemu lagi, walaupun harus menunggu berbulan-bulan untuk tatap muka secara langsung. Lagian aku sudah terlatih. Sepuluh tahun aku melakukan hal yang sama. Menunggunya. Bahkan saat itu dia tidak mengenalku sama sekali. Mana yang lebih menyedihkan?

HAPPY CODA [IDR]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang