37. Solusi dari Badai

306 31 2
                                    

Sepulang dari rumah gadisnya Iqbaal langsung menuju kamarnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sepulang dari rumah gadisnya Iqbaal langsung menuju kamarnya. Merebahkan badannya yang sedikit lelah. Bayangan wajah Lubi yang berlinang air mata masih terlihat nyata di matanya, juga isakan yang memilukan masih begitu jelas terdengar di telinganya. Padahal sekarang mereka berdua sudah jauh, tapi tetap saja kesedihan itu masih terasa jelas di hati Iqbaal.

Iqbaal menghembuskan napas pelan. Mencoba mengusir wajah sedih Lubi dari pikirannya. Iqbaal berpikir, sesakit itukah gadis itu karena mencintainya dan menjadi kekasihnya? Apakah seberat itu beban yang ditanggung Lubi sampai ia menangis tersedu? Apakah semesta tak mengijinkan Iqbaal bahagia dengan pilihannya? Kenapa orang-orang selalu sok tahu dan mengatur yang menurut mereka terbaik untuk diri Iqbaal. Mereka berprilaku seolah diri mereka itu Tuhan padahal mereka cuma hamba—manusia yang memiliki segudang rencana tanpa tau akhir cerita. Berbeda dengan Sang Mahacinta yang jelas mengetahui segalanya.

Iqbaal bangkit dari posisi rebahannya, mengubahnya menjadi posisi duduk selonjor. Cowok itu menyenderkan punggungnya di senderan besi dipan. Ia mengusak kepalanya sedikit kasar. Kenapa ini selalu terjadi dalam hubungan asmaranya? Kenapa orang yang menjadi kekasihnya selalu tersakiti tanpa Iqbaal sadari? Selalu sedih dan terbebani akan banyak hal? Apa ini sebuah kutukan? Atau apakah Iqbaal pernah berbuat salah di masa lalu? Apapun itu, Iqbaal harap Tuhan memaafkannya dan menghapus kesedihan dalam diri Lubi—kekasihnya yang sekarang sudah terlelap karena lelah menangis.

Iqbaal mengusap wajahnya kasar. Cowok itu bangkit dari kasurnya. Keluar pergi meninggalkan kamarnya menuju dapur mengambil air untuk diminum.

"Loh Le? Tumben belum tidur?" tanya Bunda tiba-tiba ada di belakang Iqbaal yang tengah menuang air ke gelas.

Iqbaal cuma mengulum senyum tipis.

"Bunda apal deh kalau kamu gini. Ada masalah apa? Cerita ke Bunda." kata Bunda merangkul pundak anak bungsunya.

Lagi-lagi Iqbaal hanya tersenyum tipis setelah menenggak segelas air putih dari tangannya. Melihat kelakuan bungsunya, Bunda menghembuskan napas pelan.

"Bunda tunggu di ruang tengah yah?" katanya mengelus pundak Iqbaal lalu berlalu dari hadapan cowok itu bahkan sebelum Iqbaal menyetujuinya.

Menyadari kedatangan anak bungsunya, Rike—bunda Iqbaal langsung menepuk sofa kosong di sebelahnya. Menyuruh Iqbaal duduk sekaligus menyuruh cowok itu menceritakan sesuatu yang tengah mengganggu pikirannya sehingga membuatnya belum tidur larut malam begini. Melihat Itu Iqbaal memposisikan dirinya, duduk di sebalah bundanya.

"Berantem sama Lubi heum?" tanya Bunda mengelus punggung tangan kanan Iqbaal yang sekarang tengah ia genggam.

Iqbaal menggeleng lalu memposisikan dirinya lebih nyaman. Ia menjatuhkan kepalanya di paha Bundanya yang tertutupi bantal sofa.

"Nda? Ale ngerasa bersalah sama Lubi. Bukannya bikin dia bahagia setiap deket Ale malah bikin dia sedih. Apa Ale harus ngejauh biar Lubi bahagia?"

Mendengar itu bunda terkejut. "Kata siapa Lubi gak bahagia deket kamu Le? Bunda aja bisa baca sorot mata dia tiap deket kamu. Perlakuan dia ke kamu. Gak bahagia dari mananya?"

HAPPY CODA [IDR]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang