Kemarin malam aku tidak bisa ikut menjemput Iqbaal yang telah pulang dari Amerika di bandara karena di rumah ada acara pertunangan Mbak Echa dan Mas Bian.
Sebagai gantinya, tanpa sepengetahuan cowok itu pagi ini niatnya aku akan berkunjung ke pondok kopi—tempat Iqbaal tinggal. Ini kelima kalinya aku main ke rumah Iqbaal. Rasanya masih lumayan sama seperti pertama kali menginjakan kaki di halaman rumahnya.
Waktu itu jantungku memompa darah dua kali lebih cepat, bahkan detak jantungku terdengar sampai ke telingaku. Aku yang grogi saat itu menghembuskan napas berkali-kali, mungkin sampai dua puluh kali lebih hanya untuk menenangkan diriku sendiri. Iqbaal yang ada di sebelahku saat itu mengeratkan tautan tangannya sambil sesekali tersenyum meyakinkan bahwa keluarganya akan menyambutku dengan baik seperti waktu di bandara. Aku tau itu akan terjadi. Tapi tetap saja rasa was-was menyelubungi hatiku.
Pun dengan saat ini. Padahal kakiku belum menginjak tanah pondok kopi, tapi gejolak itu hadir menemani perjalananku. Aku menatap kaca mobil, memperhatikan arus lalulintas yang lumayang lengang. Ah iya hampir saja lupa!
"Pak nanti mampir ke toko kue biasa yah?" pintaku pada Pak Hadiman yang tengah menyetir mobil.
Pak Hadiman mengangguk, menyetujui permintaanku. Lelaki paruh baya itupun membawa mobil yang kami kendarai ke tempat yang aku katakan tadi.
Satu kotak berisi seloyang redvelvet cake sudah berada di tanganku. Kamipun melanjutkan perjalanan yang kira-kira dua puluh menit lagi sampai di rumah Iqbaal.
Aku menghembuskan napas pelan begitu mobil yang aku tumpangi berhenti di depan rumah Iqbaal.
"Makasih Pak? Pak Hadimin langsung pulang aja ke rumah. Gak usah tungguin Lubi. Nanti kalau Lubi minta jemput pasti telepon." kataku menatap sopir yang sering mengantarku ke mana saja yang aku mau.
Kulihat pak Hadimin mengangguk. "Hati-hati non."
Aku menganggukan kepala lalu membuka pintu mobil dan turun dari sana.
Gerbang rumah Iqbaal tidak terkunci, sepertinya ada yang baru saja keluar. Aku masuk ke dalam menuju teras rumah Iqbaal lalu mengetuk pintu rumah cowok itu, mengucap salam.
"Walaikumsallam." suara Bunda terdengar dari dalam menjawab salam yang baru saja aku ucapkan.
Senyum Bunda Rike menyambutku begitu pintu terbuka. "Yaampun Bidadari dari mana ini?" tanya Bunda terkekeh.
Aku tertawa pelan. "Ah Bunda bisa aja nih." ucapku mengulum senyum menatap wanita paruh baya di depanku.
Bunda tertawa melihat ekspresiku. Wanita itu memelukku. Mencium pipi kanan dan kiriku.
"Udah lama kamu gak ke sini. Ale masih tidur di dalam gara-gara jetlag." katanya merangkulku masuk ke dalam.
"Duduk dulu Bi. Biar Bunda buatin minum." lanjutnya setelah sampai di ruang tengah.
KAMU SEDANG MEMBACA
HAPPY CODA [IDR]
Fanfiction[SELESAI] "Bukan ngelukis pake kuas Maisha Lubi. Kalo itu si gue yakin lo gak bisa. Senyuman lo yang dua hari ini udah ngelukis hidup gue. Kehadiran lo di Yogyakarta ini yang udah ngelukis memori yang gue rasa paling manis di hidup gue. Makasih yaa...