Rasanya mataku sulit terpejam, padahal sekarang sudah pukul satu dini hari. Ada yang mengganjal hatiku. Pikiranku melayang, memikirkan bagaimana nasib kelanjutan hubunganku dan Iqbaal. Apakah akan berakhir bahagia atau sebaliknya.
Aku melirik ponselku yang mati. Rasanya mau ponselku hidup pun tak ada bedanya. Iqbaal tetap saja tidak akan mau menghubungiku. Aku juga terlalu takut untuk menghubungi cowok itu lebih dulu. Takut dia marah dan tidak suka. Padahal rasanya rindu sekali.
Kalimat dari mulut Iqbaal yang berkata aku egois di hari ulang tahunnya terngiang jelas di kepalaku. Itu sungguh menampar diriku. Namun sayang, itu semua tidak mengubahku sama sekali. Lihat! Bukankah aku masih egois seperti yang dikatakannya? Dia marah saja aku tetap sama seperti ini. Segan untuk menghubunginya. Selalu berpikir aku yang jadi pusat dunia seperti yang ia bilang tempo lalu. Jahat sekali memang aku!
Kalian tahu? Sebenarnya diriku juga tidak mau seperti ini. Jariku bahkan gatal selalu ingin menelpon Iqbaal. Mendengar suara cowok itu yang bagiku sangatlah syahdu. Tapi rasanya aku tidak bisa melakukan itu. Mengingat tatapan Iqbaal yang sangat benci melihatku waktu itu, membuatku merasa kecil. Aku merasa bersalah padanya tanpa aku tahu kesalahan apa yang membuatnya marah selain karena sifatku yang katanya egois itu.
Aku menghembuskan napas pelan, menatap langit malam yang lagi-lagi tak berbintang. Apakah Iqbaal sudah melupakanku setelah hampir setengah bulan kita tidak menghubungi satu sama lain? Apakah Iqbaal sudah mengambil keputusan? Apakah Iqbaal akan tetap tinggal? Atau malah pergi karena menemukan kebahagian yang lain? Aku sungguh tidak tahu.
Berbicara tentang kebahagiaan Iqbaal yang lain aku jadi teringat acara TV kemarin yang tak sengaja kutonton. Di sana ada Iqbaal dan pemain Milea tengah promo film barunya. Kulihat dia tersenyum di sana, menatap Mileanya dengan penuh cinta. Saling bertukar pandang. Berboncengan dengan motor CB Dilan. Ah bahkan orang-orang di sekitar sampai bingung, sebenarnya yang di sana Iqbaal-Vanessha atau Dilan-Milea? Begitu juga dengan diriku. Aku jadi ragu kalu cowok itu masih mencintaiku setelah melihat perlakuannya pada gadis itu.
Sebenarnya aku tidak kuat menonton semua itu. Tapi aku sungguh merindukan cowok itu. Jadi kukuat-kuatkan. Walaupun aku tahu tawa dan senyumnya bukan lah untukku. Melihat mereka berdua dan senyum Iqbaal yang mengembang sempurna aku jadi menyimpulkan bahwa Iqbaal sudah menemukan bahagianya yang lain. Lebih-lebih ketika penggemar mereka ada yang meminta jadian. Sebelum mendengar jawaban dari mulut Iqbaal aku langsung mematikan Televisi. Bodo amat dengan jawabannya.
Dengan hati yang gemuruh dan air mata yang sudah tidak bisa dibendung hari itu, aku melangkah pergi ke kamar. Menangis, menumpahkan kerinduanku pada Iqbaal. Sampai akhirnya aku memutuskan sesuatu yang sudah aku pikirkan sejak lama yang mungkin akan membuat hatiku lebih tenang.
Malam itu juga aku kemasi bajuku. Menaruhnya di koper berukuran sedang untuk aku bawa besok pagi.
Dan di sinilah aku sekarang. Di tempat yang kupikir akan membuat hatiku lebih damai. Jauh dari Iqbaal, tapi aku tetap merasa dekat dengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
HAPPY CODA [IDR]
Fiksi Penggemar[SELESAI] "Bukan ngelukis pake kuas Maisha Lubi. Kalo itu si gue yakin lo gak bisa. Senyuman lo yang dua hari ini udah ngelukis hidup gue. Kehadiran lo di Yogyakarta ini yang udah ngelukis memori yang gue rasa paling manis di hidup gue. Makasih yaa...