Iqbaal tersenyum menatapku yang tengah melahap sate ayam dari piringku. Melihat itu aku menutupi wajahku.
"Satenya dimakan Baal! Biar kenyang. Jangan liatin aku terus!" ungkapku masih menutupi wajah.
Sang empunya malah menyingkirkan tanganku dari mukaku.
"Iyah ini aku makan, tapi jangan ditutupin dong mukanya. Ga tau apa gimana senengnya aku bisa liat mukamu lagi?"
Aku berdeham lalu melanjutkan acara makanku tanpa menutup muka, sesuai permintaan cowok itu. Kulihat Iqbaal mulai memasukan makanannya ke dalam mulutnya, membuatku tanpa sadar melengkungkan bibirku ke atas— tersenyum menatapnya.
"Itu Bi yang aku rasain waktu liat kamu makan. Sekarang tahu kan? Gimana rasanya?" ungkapnya lalu mengusak rambutku.
Aku membulatkan mataku. Sadar dengan ucapan Iqbaal. "Eh?"
Iqbaal tertawa. "Sekaranga kita satu sama yah?" tukasnya terkekeh menatapku.
Piring kita berdua sudah kosong tak bersisa. Kita berduapun meninggalkan tempat ini setelah membayar.
Motor Iqbaal melaju, melesat— menuju rumah Budeku. Aku mengeratkan pelukanku di pinggangnya. Menatap siluet mukanya dari samping.
"Bi? Kamu pulang kapan ke Jakarta?" tanyanya sedikit memundurkan kepalanya ke belakang.
"Kenapa?" tanyaku sedikit berteriak karena melawan suara angin.
Iqbaal tersenyum. "Bintang di langit Jakarta ilang semua. Kasian langitnya gak bercahaya. Mungkin kalau kamu pulang bintangnya bakal ada lagi. Soalnya aku tebak kamu yang nyuri dan bawa dia ke sini. Liat langit Yogyakarta malam ini yang penuh bintang, aku jadi makin yakin deh." ungkapnya sambil memelankan motornya.
Aku menepuk punggungnya. "Eh ngawur deh! Bukan aku yang nyuri Baal! Suwer deh! Buktinya dari kemarin Yogya juga hujan. Kamu kayanya deh yang bawa dia ke sini."
Iqbaal tertawa pelan. "Heum! Bisa aja yah kamu! Tapi mungkin bisa jadi, aku kan kembarannya bintang-bintang di langit." ledek Iqbaal mengingat surat dari Lubi yang ia baca.
Menyadari itu aku melepaskan pelukanku. "Eh? Misi kamu udah selesai? Udah ketemu harta karunnya dong?"
Di balik helmnya Iqbaal mengangguk. "udah, nih buktinya aku pake hoodie dari kamu." ungkapnya.
Mendengar itu aku langsung memperhatikan pakaian cowok itu. Aku tersenyum menyadarinya.
"Baru sadar." kekehku.
"Tapi baru buka hadiahnya, harta karunnya belum sempet dibuka. Maaf yah? Gara-gara nulis itu, jari kamu jadi bengkak." ungkapnya menengok ke arahku karena kebetulan lampu menyala merah.
"Pasti Mas Owen yang kasih tau yah? Gak kok! Aku gapapa. Kalo nulis banyak emang suka gitu. Biasa itu mah. Satu hari setelahnya sembuh kok."
"Tapi tetep aja! Jadinya sakitkan? Kenapa gak di print aja si?" tanyanya sambil menarik gas begitu lampu hijau menyala.
KAMU SEDANG MEMBACA
HAPPY CODA [IDR]
Fanfiction[SELESAI] "Bukan ngelukis pake kuas Maisha Lubi. Kalo itu si gue yakin lo gak bisa. Senyuman lo yang dua hari ini udah ngelukis hidup gue. Kehadiran lo di Yogyakarta ini yang udah ngelukis memori yang gue rasa paling manis di hidup gue. Makasih yaa...