CHAPTER 1 : Bagian 2

1.5K 141 0
                                    

Jungkook terbangun dengan tubuh lemah dan kepala yang luar biasa pening. Matanya bergerak perlahan, meneliti di mana dia sekarang. Meskipun tahu jika dirinya akan selalu terbangun di dalam kamarnya, Jungkook sudah terbiasa melakukan itu meskipun menyadari bahwa hal semacam itu tidak pernah ada gunanya.

"Kookie, sudah bangun?"

Mata bulatnya bergerak ke arah sumber suara dan menemukan kakak sulungnya berjalan masuk dengan sebuah nampan di tangan. Anak yang baru saja berumur sebelas tahun itu berencana untuk bangun sebelum menjawab, tapi suara sang kakak menghentikannya.

"Jangan bangun dulu. Masih pusing, kan?"

Ucapan kakak sulungnya memang benar dan Jungkook tidak berniat untuk membantah. Jadi dia kembali berbaring dan memejamkan mata kala menangkap putaran memusingkan dari apapun yang dilihatnya.

"Hari ini jangan masuk sekolah, ya. Kakak sudah meminta izin kepada wali kelas Kookie." lagi-lagi si bungsu tidak menjawab. Dia hanya mengangguk singkat tanpa membuka matanya.

Ketika tangan lebar sang kakak menyentuh dahinya barulah Jungkook membuka mata. Meski samar-samar, Jungkook tahu jika kakak tertuanya menampakkan raut cemas di wajah rupawannya.

"Ada yang sakit, Kookie?" tanya Seokjin lembut. Meskipun tak mendapati adiknya dengan suhu tubuh yang tak seharusnya, tapi Jungkookie nya benar-benar terlihat lemah.

Menyadari nada cemas dari kalimat yang diucapkan sang kakak, Jungkook lantas menggeleng. "Semuanya terlihat berputar. Itu saja, kak." ujarnya.

"Kalau begitu Kookie istirahat saja, ya. Kakak temani di sini."

"Kakak tidak bekerja?"

"Kakak tidak bisa membiarkan Kookie sendirian di rumah. Tidak perlu memikirkan itu." kata Seokjin lalu mendudukkan diri di tepi tempat tidur. "Kookie makan dulu, ya." lanjutnya.

Si bungsu menggeleng. Sekalipun dirinya mengabaikan putaran memusingkan itu, perutnya terasa diaduk-aduk pada saat yang sama. Saat ini pun Jungkook sedang berusaha untuk tidak mengeluarkan apapun dari mulutnya.

"Kenapa tidak mau?" tanya Seokjin.

"Mual."

Entah terlihat atau tidak Seokjin rasanya ingin menangis mendengar pernyataan adik bungsunya. Dirinya masih ingat tadi malam adiknya masih begitu ceria. Tapi kenapa tiba-tiba dia pingsan dan sekarang sakit begini? Bahkan Seokjin yang nyatanya adalah dokter tidak bisa menjelaskan apapun terkait ini. Sungguh ini adalah saat di mana dia merasa tidak berguna sebagai dokter. Melihat adik-adiknya sakit dan terluka adalah hal yang sangat dibenci Seokjin.

"Kakak, dingin."

Ucapan si bungsu kembali menarik kesadaran Seokjin ke dunia nyata. Dirinya segera bangkit untuk menghidupkan penghangat ruangan sebelum kemudian kembali duduk di sisi adiknya. Berharap adiknya merasa lebih baik, ternyata Seokjin tidak bisa mendapatkannya. Si bungsu tetap meracau kedinginan.

Dengan segera Seokjin berjalan menuju lemari dan mengambil selimut tambahan. Dipakaikannya selimut itu di tubuh sang adik meskipun itu tidak membuat adiknya merasa lebih baik.

Kakak harus melakukan apa, Kookie?

Seandainya boleh Seokjin ingin menangis sekarang juga. Tapi ketika menyadari jika itu tidak ada gunanya dan malah akan menambah masalah, Seokjin segera mengusap matanya yang berair lalu menghela nafas panjang. Tak banyak pertimbangan, Seokjin langsung membaringkan tubuhnya di samping tubuh adiknya dan memeluknya dengan erat, berusaha membagi kehangatan kepada adik bungsunya.

Meskipun tak sepenuhnya berhasil, Jungkook mulai tenang saat sang kakak memeluknya. Memang nafasnya tak beraturan dan suhu tubuhnya tiba-tiba naik. Tapi setidaknya dia tidak terus-terusan meracau dengan suara kecil nan lemah yang berhasil membuat Seokjin merasa semakin cemas.

Why I Can See You [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang