"Untuk apa lagi kau datang ke sini?"
Jihyun berhenti melangkah. Dia bahkan baru masuk ke dalam mansion mewah itu. Tapi gerakan kakinya hanya tertunda saat suara tak bersahabat menusuk telinga. Dengan menghela nafas Jihyun menoleh ke arah tangga, tempat di mana seorang wanita berdiri dengan angkuhnya. Orang yang beberapa hari lalu masih berani ia panggil ibu meskipun sekarang semua itu sudah menjadi kelabu.
Jujur dia sudah terbiasa dengan tatapan sinis yang begitu menusuk dari wanita itu. Bahkan terkadang pukulan menyakitkan yang mendarat di tubuh. Tapi kali ini berbeda. Rasanya tidak sama karena tidak akan ada lagi orang yang berlari menghampiri lalu membawanya pergi dari amukan itu. Jauh lebih sakit saat mengingatnya, Jihyun tidak mengerti kenapa.
Orang yang ia panggil ayah dan ibu memang tidak pernah menyayanginya. Jihyun sudah merelakan itu karena bahagianya adalah melihat sang adik bahagia. Mencari kepuasan di luar memang menjadi hal yang ia lakukan untuk menutupi betapa hancur dirinya. Menghancurkan orang lain hingga dia tidak merasa hancur sendirian. Haruskah Jihyun yang disalahkan? Atau kedua orangtuanya saja?
Ya, bagaimanapun juga Jihyun tetap salah. Tapi kesalahan itu bermula dari kelakuan orangtuanya. Jadi jangan terlalu menyalahkan Jihyun. Dia juga korban di sini.
"Ibu, aku ingin me..."
"Jangan panggil aku ibu, sialan! Kau bukan anakku. Menjaga adikmu saja tidak becus." bentakan wanita itu menggema keras ke seluruh penjuru ruangan. Bahkan terus terngiang dalam otak si anak. Jihyun diam. Bukan karena takut, tapi menyesal karena ucapan ibunya memang benar. Jika saja dia bisa menjaga Jihoon dengan benar, maka semua ini tidak akan terjadi.
"Kumohon, aku ingin mengatakan susuatu. Bisakah aku bertemu dengan..." Jihyun berhenti sejenak. Menghela nafas untuk menenangkan hatinya yang bergemuruh sakit. "T-tuan Park."
"Apalagi yang ingin kau bicarakan?"
Suara lain menginterupsi. Jihyun menoleh dan menemukan seorang laki-laki berdiri tak jauh darinya, bersedekap dada. Itu adalah ayahnya, laki-laki angkuh yang dengan tega memukulinya tempo hari.
"Ini tentang Jihoon."
BUGH!
Pukulan keras yang ia terima. Tapi Jihyun mencoba mempertahankan keseimbangan saat dirasa tubuhnya akan segera jatuh. Dia memandang sang ayah sekali lagi. Dapat dilihat emosinya sedang menggebu-gebu. Jihyun tahu ini yang akan terjadi jika ia menyinggung sedikit saja tentang Jihoon. Tapi ini memang harus ia lakukan. Demi permintaan Jihoon.
"Kau masih berani membahas ini, hah?! Kenapa tidak kau saja yang mati sekalian? Jihoon jelas lebih berguna dari pada berandal sepertimu."
Sakit, tapi kali ini emosinya terpancing juga. Ayahnya berkata seolah dia hanya ingin memanfaatkan Jihoon. Itu sangat menyebalkan, memuakkan. "Kau boleh memukulku, memanfaatkanku sesuaka hatimu. Tapi jangan pernah melakukan itu kepada Jihoon. Orang tua macam apa yang tega melakukan itu kepada anaknya?!"
Tuan Park tersenyum sinis. Dia sudah bersiap melayangkan pukulan kepada Jihyun saat suara lain terdengar. "Paman, tolong hentikan ini!"
Semuanya menoleh, Jihyun juga. Itu Jimin, datang dengan Hoseok dan Namjoon. Melihat mereka membuat laki-laki paruh baya itu kembali tersenyum sinis. "Kau membawa bala bantuan rupanya. Katakan kepadaku, Jimin. Kenapa aku harus menghentikan ini? Aku hanya menghukum anak nakal."
"Paman, ini sudah keterlaluan. Kami bisa saja melaporkan paman karena tindak kekerasan dalam keluarga jika Jihyun tidak menghentikan kami. Kenapa kau bahkan tega sekali melakukan ini?"
Tuan Park sedikit terhenyak. Seingatnya Jimin tidak pernah melawan sekalipun. Dia adalah keponakannya yang lugu dan penurut. Kenapa sekarang dia berani sekali mengatakan itu kepadanya? Tapi karena tingkat kepercayaan dirinya sedang sangat tinggi—mengingat tak mungkin anak itu merealisasikan ucapannya—Tuan Park hanya terkekeh pelan lalu berkata, "Mari kita lihat bagaimana kau akan melaporkanku."
Jimin menghela nafas, memandang sang paman dengan tatapan rumit. Semuanya menjadi begini karena dia tidak bertindak sejak dulu. Seharusnya dia dan Jihyun merencanakan semuanya sebelum sifat angkuh pamannya itu semakin menjadi. "Aku memiliki bukti, paman. Jangan menganggapku sebagai keponakanmu yang polos dan mudah dibohongi lagi." ujarnya.
Dengan rahang mengeras akibat mendengar penuturan Jimin, Tuan Park memandang keponakannya itu dengan tatapan tajam. Dia mengayunkan tangan untuk memukul Jimin tanpa ragu, tapi Jihyun langsung menghentikannya sembari memandang sang ayah dengan tatapan nyalang yang tak kalah tajam.
"Jangan sakiti siapapun. Anda bisa memukulku, tapi jangan menyentuh Jimin." ujar Jihyun penuh penekanan. Dia bahkan tidak ragu untuk mencengkeram kuat tangan sang ayah hingga laki-laki itu sedikit meringis dibuatnya. "Dengarkan aku sekali ini saja, demi Jihoon."
Tuan Park menarik tangannya dari cengkeraman Jihyun dengan mudah karena laki-laki itu langsung melepaskannya. "Kau pikir aku akan percaya? Siapa yang tahu jika yang kau katakan ini adalah kebohongan?" ujarnya dengan pandangan meremehkan.
"Sekali ini saja."
Meski terdiam sejenak, akhirnya Tuan Park membiarkan Jihyun bicara. Meskipun tidak ada yang bisa menjamin apakah laki-laki paruh baya itu akan benar-benar mendengarkan, tapi setidaknya Jihyun memiliki kesempatan untuk menjelaskan.
"Jihoon tidak ingin anda mencelakai Dokter Kim. Di sini tidak ada yang salah. Kejadian itu murni kecelakaan. Dokter juga bukan Tuhan, tidak ada manusia yang bisa mencegah kematian jika takdir sudah menggariskan. La..."
"Omong kosong macam apa ini? Kau bilang Jihoon? Dia bahkan sudah mati. Bagaimana mungkin dia bisa mengatakan itu kepadamu?" Tuan Park memotong ucapan Jihyun.
"Tapi semua yang kukatakan memang benar."
"Kau pikir aku percaya."
Jihyun juga sudah tersulut emosi, tapi berusaha tetap sabar dan menjelaskan semuanya dengan kepala dingin. Bertindak gegabah hanya akan memperburuk suasana. "Terlepas dari semua itu, melakukan percobaan pembunuhan adalah tindak kriminal. Anda bisa dihukum berat atas tindakan itu." ujarnya mencoba menjelaskan.
Tuan Park mendenguskan tawa kecil. Nampaknya dia memang sudah tidak bisa diberi penjelasan secara baik-baik. "Aku tidak peduli. Bedebah itu tidak bisa menyelamatkan nyawa anakku. Jadi kenapa jika aku membunuhnya?" terkekeh pelan. "Akan kupastikan bedebah sialan itu membusuk di neraka."
Tangan Jihyun mengepal kuat di sisi tubuhnya. Tatapan tajamnya masih tidak hilang, tapi itu bahkan tidak berhasil mengintimidasi Tuan Park sama sekali. Laki-laki itu masih teguh dengan pendiriannya. Membuat laki-laki semacamnya tersadar dari perbuatan salah memang bukan hal yang mudah.
"Lagi pula kalian tidak bisa melapor tanpa bukti.
Tiba-tiba Jimin tertawa, membuat Tuan Park langsung menoleh dan memandangnya dengan tatapan heran dan bingung. "Maaf, paman. Tapi aku datang untuk mengancam." ujarnya sembari memperlihatkan layar ponsel yang menunjukan rekaman suara selama lima belas menit terakhir. Berhasil menangkap semua pernyataan yang sudah lebih dari cukup untuk menjadi bukti.
"Kau ingin melihat rekaman videonya juga?" Jimin mengedipkan sebelah mata sembari menunjuk lensa kecil di celah pakaiannya. Semua rencana berhasil tanpa kendala sama sekali. Sifat angkuh Tuan Park mempermudah mereka.
Jimin bergerak cepat untuk menghindar saat Tuan Park akan menjangkaunya. "Ups, jangan berpikir untuk merebutnya. Lensa ini sudah terhubung dengan komputer di tempat lain. Jadi, paman..." Jimin mencondongkan tubuhnya ke depan, seolah sedang mengejek sang paman yang tidak bisa melakukan apa-apa. "Jangan berpikir untuk melawan, oke?"
Lupakan tentang memastikan Seokjin membusuk di neraka. Laki-laki itu yang akan membusuk di penjara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Why I Can See You [END]
Fanfiction[방탄소년단 : 전정국] Jungkook tidak pernah berpikir jika dirinya akan terus melihat presensi aneh di sekitarnya. Ia hanya bingung, tak tahu harus bereaksi seperti apa ketika wujud wujud mengerikan itu tiba-tiba muncul di depan matanya. Mungkin dia berpikir...