Epilog

895 84 35
                                    

"... Jungkookie?!"

Mata bulat itu terbuka perlahan. Buram, jadi kelopak indah itu mengerjap beberapa kali sebelum kemudian bergerak acak, mencoba menemukan objek yang menjadi sumber suara. Butuh beberapa sekon baginya untuk menyadari bahwa sang kakak berada di sampingnya, sedang mengelus surai hitam yang lepek oleh keringat. Ia menggigit bibir, menggenggam balik jemari sang kakak. Entah sampai kapan ia harus bangun dengan rasa takut seperti ini. Rasanya sudah terlalu lelah.

Melihat mata Jungkook mulai berkaca-kaca, Junghyun langsung menarik tubuh adiknya itu untuk direngkuh. Dia berharap bisa sedikit menenangkannya meskipun pasti tak akan menghentikan tangis yang paling ia benci itu. Dadanya berdenyut sakit saat dirasa tubuh sang adik bergetar kecil lalu isakan lirih terdengar. Setiap pagi selalu begini, tapi mustahil baginya untuk terbiasa.

"Kenapa? Memimpikan itu lagi?" tanya Junghyun sembari memberikan elusan lembut di puncak kepala sang adik. Jungkook mengangguk perlahan. Dia tidak mengatakan apapun karena saat ini sedang berusaha menghentikan isakannya sendiri.

"Tidak apa-apa. Itu hanya mimpi. Kakak selalu di sini. Jadi jangan takut, oke?"

Tidak ada jawaban. Jungkook hanya mengeratkan pelukannya lalu mendusalkan wajah semakin dalam ke dada bidang sang kakak. Junghyun juga tetap diam, tak mengatakan apapun. Hanya gerakan teratur di kepala sang adik yang ia pertahankan hingga Jungkook mulai tenang.

Dengan hati-hati Junghyun melepaskan pelukannya untuk memandang wajah sembab adiknya. Mata berair, hidung yang memerah. Sebenarnya pemandangan semacam ini selalu menjadi mimpi buruk baginya. "Tidak perlu ke sekolah, ya. Koo di rumah saja sampai merasa lebih tenang." ujarnya dengan menyelipkan senyum menenangkan.

"Tapi ini hari pertama Koo di sekolah." meskipun jelas masih ketakutan, tapi Jungkook sudah melayangkan protes karena tahu jika dia hanya akan menyusahkan kakaknya dengan terus berada dalam kondisi semacam ini.

Junghyun terdiam sebentar. Dia jelas tahu jika adiknya itu hanya tidak ingin dirinya merasa khawatir dan terbebani. Tapi membiarkan adiknya keluar sendirian dalam kondisi seperti ini juga bukan pilihan yang tepat. Terlebih karena kota ini baru baginya. Jungkook bahkan belum memiliki teman meskipun sudah seminggu lebih tinggal di sini. Benar-benar berbanding terbalik dengan dirinya yang sudah dikenal semua orang. "Kakak tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi. Tidak usah dulu, ya?" bujuknya.

"Aku ingin pergi."

Helaan nafas berat yang lebih tua menjadi penutup perdebatan singkat itu. Junghyun akhirnya menyerah dan membiarkan Jungkook melakukan apa yang ia inginkan. Jadi sembari menunggu adiknya selesai mandi, dia dengan senang hati menyiapkan semua keperluan anak itu.

Kakak beradik itu tidak tinggal berdua. Orang tua mereka juga ada di sana, tapi hanya saat larut malam hingga pagi buta. Singkatnya mereka sangat sibuk dan tidak memiliki banyak waktu di rumah. Sekarang pun mereka sudah berangkat bekerja, meninggalkan kedua anaknya dengan alasan kebahagiaan semua orang. Junghyun jelas tidak bisa menyalahkan mereka, apalagi Jungkook. Jadi mereka berdua hanya menjalani kehidupan yang dibuat orangtuanya dengan sebaik mungkin.

Seperti saat ini, setelah berkali-kali pindah tempat tinggal karena alasan pekerjaan orang tua, Junghyun dan Jungkook harus rela beradaptasi di lingkungan baru. Beruntung kali ini kampus Junghyun masih bisa ditempuh dalam waktu satu jam, tidak seperti terakhir kali yang bahkan memerlukan waktu tiga jam dari rumah mereka. Jadi Junghyun masih bisa beralasan untuk tetap tinggal bersama mereka, tidak di apartemen seperti yang sudah-sudah. Masalahnya dia mulai khawatir dengan kondisi Jungkook. Anak itu terlihat baik-baik saja dari luar, tapi ada saat-saat di mana dia bisa menjadi begitu lemah. Dia tidak bisa mengasumsi seenaknya, tapi mental adiknya mulai terganggu semenjak mimpi sialan yang selalu datang setiap malam.

Why I Can See You [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang