21. pilu

151 32 1
                                        

Kita butuh ruang. Ruang gelap dimana raung tangisan itu tak menyapa talinga oranglain.

📍


Seperti ledakan bom yang tak mampu diredam oleh apapun. Gema pilu yang menusuk sunyi dibalik dinding bata, ditengah pekat gelap yang menyelimuti, ada gadis yang meringkuk, tak mampu menguasai dirinya sendiri. Ketika bom itu meledak tepat didepannya, Ia tumbang! Kecewa menariknya kedasar ruang dimana sakit siap menyiksanya.

Nadia. Yang mampu dilakukannya hanya menangis, memang apa lagi? Berpura-pura bahagia? Percayalah, dia bukan aktris yang hebat!

Nadia. Kekecewaannya teramat besar pada segalanya, direnggut sebelum ia memiliki apa-apa. Bahkan dirinya belum sempat menyapa dunia impiannya, Nadia putus asa.

Tak peduli seberapa keras ketukan pintu dan berapa kali namanya diserukan. Yang ingin dilakukannya hanya duduk, memeluk lutut nya sendiri seolah itulah tumpuannya.

"Nadia!!"

Percuma untuk menoleh, Nadia tahu itu Fitri. Berhasil membuka pintu kamar dengan kunci serep yang disimpannya, Nadia melanjutkan tangisannya.

Fitri berlari memeluk putrinya. Menenangkan lewat kecupan dan elusan lembut dikepalanya. Benar. Nadia sungguh sangat butuh semua itu saat ini, hanya saja kadang ada luka yang malah semakin besar saat coba diobati.

"Sudah sayang, Sudah. Mama ada disini."

Nadia menggeleng, tidak ingin berhenti.

"Husstt. Dengerin Mama, sayang! Apa-apa yang bukan milik kita, selamanya gak akan pernah jadi milik kita. Dipaksapun, itu malah akan rusak."

Nadia kembali menggeleng dengan wajah tenggelam diceruk leher Fitri.

"Gak, Sayang. Kamu gak boleh kayak gini. Lihat Mama sekarang." Fitri menarik wajah putrinya hingga Ia mampu melihat wajah sembab dengan air mata.

"Kamu gak boleh kayak gini. Mama ngerti kamu kecewa, kamu sakit hati. Tapi.. Tapi Danu- Allah lebih tahu yang terbaik buat kamu. Dan mungkin dia bukan orangnya, sayang. Danu bukan takdir kamu, kamu harus bisa terimah itu."

Nadia menutup mata rapat. Kemudian menggeleng pelan saat menyadari ia tak mampu agar baik-baik saja.

"Nadia.."

"Mah.." Nadia menghela napas, membuangnya keudara dengan kasar.
"Nadia coba. Nadia usaha. Tapi tetap aja gak mudah buat Nadia. Karna Nadia.. Nadia.. Hikss.." Nadia tidak mampu melanjutkan.

"Nadia sayang sama mas Danu. Iya! Mama faham, Mama tahu itu. Tapi Allah lebih tahu yang seharusnya untuk kamu dan untuk Danu. Kalian-"

"Gak bisa bersama? Allah yang bilang itu? Bahwa nama aku dan Mas Danu gak akan pernah selaras di atas kertas undangan? Mah.. Perasaan aku ke Mas Danu datang nya dari Allah, tapi Allah juga yang negasin kalau aku gak berhak dapat dia. Jadi mungkin gak ada salah nya aku menenangkan diri sambil nangis. Biarin aku Mah. Aku butuh waktu lebih panjang berdua sama Allah, biar aku bisa ngerti maksud Allah yang sesungguhnya. Lebih dari Mama, aku paling butuh Allah saat ini"

Fitri terenyuh, jiwanya ikut ditimpa beban keras melihat sosok putrinya tertindih. Tangan lembut Fitri menarik Nadia kembali kedalam peluknya, menenangkannya seperti saat Nadia bayi mungil yang menangis. Ego keibuannya kembali tersakiti.

"Iya, sayang. Kamu benar, lebih dari siapapun kamu paling butuh Allah. Tenang, sayang. Sakitnya gak akan lama, karna kamu tumpukan semuanya pada Allah."

Fitri mengerti betul bagaimana kecewanya Nadia, bahkan menangis meraungpun masih belum cukup saat kembali mengingat benih perasaannya diinjak kasar oleh kenyataan.

 She Is Me (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang