Diri selalu sulit menerima perubahan, selalu ada penolakan. Karna tempat baru selalu menolak keberadaan kenangan yang seringnya menjadi hal paling sulit dilupakan. Benar bukan?
"Kita sudah sampai, Vi!"
Viona tersentak dari lamunannya disepanjang jalan. Matanya menatap sekitarnya, dan diluar mobil sudah terpampang jelas rumah mewahnya. Viona tanpa suara turun dari mobil, disusul Fitri, Rustam dan Nadia.
Viona menyingkirkan kacamata hitam dari pangkal hidungnya, menatap ketiganya dengan picingan.
"Ingin mampir sebentar? Saya tidak akan menyajikan babi untuk kalian!""Viona!" Fitri berdecak marah.
Viona terkekeh. "Maksud ku, ada segelas jus untuk kalian!"
Fitri menatap suaminya, tatkala senyum pria itu mengembang mereka akhirnya masuk kedalam rumah Viona. Viona tidak berbohong tentang segelas jus, dia langsung membuat nya dan menyajikan untuk ketiganya juga dirinya.
Viona bergabung, duduk di sofa panjang menghadap tamunya.
"Kamu yakin tinggal sendirian disini? Kamu gak mau serumah aja sama kami?" Fitri bertanya penuh harap.
"Gak! Viona lebih nyaman disini, dan lagi pula Vio gak mau membebani siapa-siapa. Dan Viona juga tidak mau merusak hal yang sudah berjalan lama diantara kalian!"
"Vi– Mama gak ngerti maksud kamu. Merusak apa? Mama sama Ayah sama sekali tidak keberatan dengan kamu, mama malah berpikir kita bisa lebih dekat lagi jika kamu mau tinggal bersama. Dan mama juga gak akan terlalu khawatir dengan keadaan kamu"
"Viona yang keberatan. Karna kita ternyata sudah berbeda, mah! Suatu hari nanti mungkin Viona akan datang kerumah mama tapi bukan sekarang. Tempat Viona disini, mah. Yah, walaupun begitu setidaknya sekarang kita bisa menyapa selayaknya ibu dan anak, kan?"
Fitri mendesah gusar, tapi tak urung tersenyum dan mengangguk.
"Mama kecewa, tapi gak bisa maksa. Ini hidup kamu mama gak akan maksa kamu bagaimana. Tapi mama akan sangat sering menggangu kamu disini."Jus yang bahkan tak tersentuh itu hanya menjadi saksi mati, bagaimana Viona memilih jalan hidupnya. Saat mereka bersiap beranjak pulang Viona menahan pergelangan tangan Nadia. Gadis itu tersentak, dan langsung kikuk melihat tangannya digenggam Viona.
Yang lainnya ikut berhenti, berbalik melihat keadaan keduanya.
"Siapa nama mu?" tanya Viona langsung.
"Na–Nadia, kkak!" rasanya Nadia hampir pingsan saking gugupnya.
"Nadia?" Viona tersenyum, terkekeh kecil "Itu bukan seleraku, mah. Kenapa memberinya nama seperti itu"
"Ayah yang memberinya nama!" timpal Fitri
"Oh! Hanya ingin bilang, Nadia! Jangan terlalu canggung dengan saya. Suatu hari kita harus bertingkah sebagai kakak dan adik paling akrab! Dari dulu saya sangat ingin punya saudara!"
Nadia terpanah. Entah yang barusan itu permintaan ataukah perintah untuk dirinya. Ujung-ujungnya Nadia hanya tersenyum canggung dan mengangguk pelan.
Dari posisi berdiri didekat Nadia, Viona mendekati Rustam, menatap tanpa ekspresi pria baya itu dan Rustam melakukan hal yang sama.
"Apa yang perlu saya katakan pada anda?"
Berpura-pura menimang, Viona lalu tersenyum kecut.
"Saya marah anda menjadi pengganti, papa saya. Tapi saya bahagia anda melakukannya dengan cinta. Jadi saya ucapkan terima kasih, sudah menerima mama dan Nadia tanpa pamrih. Anda orang yang baik, anda memberi kehidupan untuk Caitlen yang terpuruk. Saya harap saya juga bisa menemukam kebaikan anda dan bergabung bersama dengan kalian""Viona. Tindakan kebaikan tidak merubah siapa-siapa, kebaikan itu hanya menyentuh beberapa hati, dan dengan sendirinya hati itu belajar menemui yang terbaik. Hati kamu hanya perlu sedikit sentuhan, entah siapa pelakunya. Itu tidak harus saya, tapi pastinya saya mencoba. Jadi terima kasih kembali jika kamu berharap pada kebaikan itu. Rumah kami terbuka lebar setiap kali kamu mengetuknya dengan pasti."
"Saya lebih suka disini untuk sekarang! Lagipula rumah saya pasti jauh lebih mewah dari rumah anda!"
Rustam tertawa. "Tapi rumah saya jauh lebih damai dari rumah ini. Jadi datanglah untuk kedamaian itu"
"Yah. Kapan-kapan saya bisa datang untuk makan malam"
Viona memperhatikan langkah mereka melewari pintu rumahnya. Saat suara mobil mereka sudah tak terdengar lagi. Seketika senyap, rumah itu seolah ditengah hutan paling terpencil.
Viona memeluk tubuhnya didalam rumah itu. Matanya terpejam saat kesunyian semakin merayapi sekitarnya. Benar! Disini Viona, ditempatnya yang sunyi, sepi, gelap. Dirinya dan Ainah menyatu dengan semua itu.
↕↕↕
Pintu kamar mandi dibuka pelan, Viona berjalan keluar dengan jubah mandi berwarna putih serta handuk kecil melilit rambut basahnya.
Viona menduduki kursi, menatap pantulan wajah datarnya dicermin. Laci teratas dari meja rias Viona buka, berniat mengeluarkan hairdryer tapi malah tak sengaja menyentuh cutter didalamnya.
Viona menelan saliva kuat-kuat. Tangannya agak gemetar dan kepalanya menyetel ulang hari itu. Viona membeku, matanya menerawang.
Secuil ada perasaan terkutuk yang ingin menarik benda itu keluar lalu menggoreskannya dipergelangan tangannya sendiri yang bahkan masih belum sembuh total.
Tunggu!
Plakk!
Viona mendorong keras laci itu, menguncinya lalu membuang asal kuncinya. Viona menatap pantulan wajahnya sekali lagi, menggeleng kecil tatkala telinganya berdengung mengulang kalimat Zio pada beberapa kesempatan mereka melakukan pemeriksaan.
"Sampai hari ini kamu aman, karna tidak ada percobaan bunuh diri atau melukai diri sendiri. Tapi fase berbahaya dari DID sama seperti beberapa penyakit mental lainnya. Percobaan bunuh diri. Sedari dini kamu harus hati-hati dengan benda tajam apa lagi saat emosi!"
"maybe saya gak sepicik itu untuk bunuh diri, tapi gak tau juga. Dan untuk menjauh dari benda tajam, dokter lupa pekerjaan saya apa?"
"Vi.. Jangan anggap enteng masalah ini. Sebenarnya tidak selalu saat kamu merasa tertekan tapi ada kasus dimana perasaan ingin mengakhiri hidup itu terjadi begitu saja, menaluri, dan kalau kamu tidak kontrol diri–"
Viona mendesah. Mengusap wajah nya. Jadi dia sungguh sudah gila?
Viona pikir dari ketidak-sengajaannya menggores tangannya hari itu bisa memberinya jalan keluar. Walau Viona mengumpat sejadi-jadinya bahwa cutting tidak benar-benar semudah yang di film atau novel tapi Viona berharap nyawanya sungguh melayang hari itu.
Semalaman Viona memikirkan apa dia bisa memotong tangannya sendiri dengan tangan lainnya, apa dia sungguh bisa melakukannya atau niatnya hanya omong kosong belaka, tapi keterkejutannya mendengar suara Zio berteriak didepan pintu malah mengakhiri pemikirannya.
semua orang berpikir Viona sudah memotong tangannya dengan sengaja, nyatanya Viona tidak sengaja. Dia kaget, reflek menarik pemotong yang memang sudah bertengger dipergelangan tangannya.
Viona tidak seberani itu. Walau sudah memikirkannya berulang kali didalam kamarnya, meski tidak tidur dan hanya menimang-nimang percobannya.
Viona terkekeh, menertawai dirinya yang sok sekali malam itu.
Assalamualaikum. Yah gaess kita udah sampai sejauh ini. Terimah kasih banyak masih mengikuti 2/1 dengan sabar. Luvv yuu😍😘🙏
KAMU SEDANG MEMBACA
She Is Me (SELESAI)
RomanceAlhamdulillah sudah rampung! Ini tentang cara berpaling dari ketakutan, tentang cara menolak kenyataan. Segalanya melampau kemauan, merusak pijakan hingga kisah menempati ruang. Tentang Viona Tentang Ainah Tentang penyatuan hidup mereka yang dilanda...