Aku biasa dipanggil Gia atau lebih tepatnya aku lebih senang memperkenalkan diriku dengan nama itu.
Simpel dan terkesan pasaran itulah kesan orang terhadapku.
Aku tidak peduli dengan perkataan atau pendapat orang lain terhadapku.
Sama seperti aku mengabaikan tatapan muak Lio yang jelas jelas menusuk tajam tepat diwajahku terang terangan.
" Mau kamu apa sebenarnya ?".
Lagi lagi tidak ku hiraukan bentakan Lio padaku.
Aku hanya tersenyum dan tetap menatapnya seperti ia berbicara lembut padaku.
Lio menghentak kedua lengan kurusku tapi pandangan ku dengan berani masih menatapnya dengan pandangan yang sama.
"Aku mau kita cerai. Aku muak jadi obsesi mu Gia".
Aku sudah biasa dengan kalimat menyakitkan itu.
Senyum masih melekat di bibirku saat aku malah merapikan rambut Lio yang sedikit tak rapi didepan keningnya.
Lio menepis tangan ku dengan kasar namun aku masih tersenyum sebelum menjawabnya lugas.
"Aku kan sudah bilang, aku yang memutuskan soal itu".
Aku dapat mendengar gemeretak giginya karena geram.
Ku lirik gadis yang masih meringkuk didalam selimut yang malam ini menjadi teman tidur suamiku.
Ini sudah kejadian yang kesekian kali nya aku memergoki suami ku Marchelio Maurer ngamar dengan wanita lain.
"Sebaiknya kamu berbenah sebelum keluarga mu ...."
"Apa hak mu mengatur disini ?".
"Sayang, aku hanya ingin menyelamatkan kehormatanmu disini. Apa kau tidak sadar itu ?".
" Hah, seharusnya kamu yang sadar. Kamu adalah aib yang seharusnya segera menyingkir".
Nyut... nyeri bersarang dihatiku namun bibirku masih mengulas senyum.
" Keluarga ku bahkan tidak satupun menyukaimu. Kalau saja bukan karena hutang budi jangan harap aku sudi menikahi wanita gila seperti mu".
"Nah itu sadar, oleh karena itu kamu hanya perlu bersabar hingga aku melepasmu". Balasku sembari menutup pintu kamar hotel meninggalkan pria yang ku nikahi yang jelas jelas membenciku setengah mati.
Bermula dari pertemuan pertamaku dengan Lio di pelantaran rumah sakit 2 tahun lalu.
Saat itu aku tengah berjalan tanpa arah setelah kabur dari ruang perawatan.
Saat itu Lio tengah bersujud di pelantaran rumah sakit didepan seorang pria paruh baya yang tengah murka.
Aku tidak berniat untuk menguping sebenarnya.
"Pa maafin Lio pa. Lio gak tau kalau Mama Sampai begini".
Lagi lagi Pria itu memohon.
"Sekarang kamu liat hasil perbuatan kamu. Liat...!!! Kamu yang tidak pernah mendengarkan. Sekarang kasih tau papa gimana cara kamu untuk menyelamatkan mama mu ?? . Kasih tau papa dari mana kamu bisa dapatkan pendonor cairan sum sum tulang belakang yang cocok untuk mama mu ".
Jelas jelas pria paruh baya itu murka luar biasa.
Serentetan keributan itu terdengar olehku tanpa sengaja.
Pandanganku masih mengarah pada Lio yang saat itu tertunduk lemah.
Wajah itu mengingatkan ku pada seseorang yang familiar.
Dengan langkah pasti aku mendekati kedua pria yang masih bersitegang itu.
"Maaf kalau saya lancang ".
Serentak keduanya menatapku dengan pandangan yang terkejut dengan kehadiranku.
"Saya tidak sengaja mendengar keributan disini. Dan kalau tidak salah dengar tadi dari keluarga bapak ada yang membutuhkan donor cairan sum sum tulang belakang. Kebetulan darah saya dengannya sama, jika memang cocok saya tidak keberatan untuk menjadi pendonornya".
Kedua orang didepanku terkejut mendengar pernyataanku barusan.
"Tentu dengan syarat khusus yang harus dipenuhi " tambahku.
"Apa syaratnya ?".
"Nikahkan saya dengan pria ini ".
Kedua pria didepanku menampilkan beragam ekspresi.
"Tentu nya itu terjadi ketika saya memang bisa menjadi pendonor".
"Siapa kamu ? Saya memang membutuhkan pendonor segera. Tapi bukan berarti saya mau mengambil resiko ".
"Itu terserah bapak. Saya hanya ingin membantu disini. Dan alasan khusus yang tidak bisa ku beberkan . Tentu bapak bisa memilih untuk setuju atau tidak. Tentang asal usul saya bapak tidak usah khawatir saya keluarga baik baik".
Pria paruh baya itu terlihat sedang berpikir keras sembari menelisik ku.
" Jangan bilang papa mempertimbangkan tawaran barusan".
"Memangnya kita punya pilihan lain ? Mama mu harus segera dioperasi paling lambat besok".
Pria muda itu menggeram tidak senang saat mendengar pernyataan Ayahnya barusan.
"Pa, tapi kita gak tau dia ini siapa. Jangan jangan dia berniat jahat dengan memeras kita nantinya kalau kita setuju".
Pria paruh baya itu kembali melayangkan tatapan tajam nya kearahku.
"Jangan khawatir, aku tidak berniat seperti itu. Tentu kalian boleh mengecek kondisi kesehatan dan mempertimbangkan latar belakang ku. Tapi ku sarankan untuk mengutamakan pasien sebelum kita lakukan itu".
Jelas jarum jam yang melingkar dipergelangan tanganku menunjuk angka 9 pagi.
Mengingat prosedur yang harus dilalui cukup panjang tentu memakan waktu lama.
Ditambah kemungkinan ketidakcocokan akan mempengaruhi keselamatan pasien.
Pria paruh baya itu menghembuskan napas panjang nya sebelum ia mengangguk untuk setuju.
"Pa...."
"Ingat Lio, ini semua karena kamu. Sudah sepantasnya kamu berkorban untuk menyelamatkan mama mu ".
Tegas pria paruh baya itu sembari melangkah pergi menuju pintu masuk rumah sakit.
"Tunggu sebentar, saya ingin pemeriksaan dilakukan dirumah sakit lain".
Langkah nya terhenti saat mendengar permintaanku.
"Saya tidak bisa memberi tau alasannya namun saya tidak bisa diperiksa disini".
"Bukan kah akan lebih lama prosesnya bila diperiksa dirumah sakit lain ?. Saya tidak setuju soal itu. Apa ada kondisi yang harus dihindari dari rumah sakit ini ??".
Aku menimbang sesaat, sebenarnya tidak akan ada yang mencariku waaupun aku menghilang. Bahkan mungkin mereka bersorak gembira sekarang. Mungkin hanya bik Laras yang kalang kabut sekarang karena kepergianku. Jadi kenapa harus repot repot menghindar.
"Baiklah, ku rasa tidak masalah melakukan pemeriksaan disini. Tapi dengan syarat tidak ada yang boleh tau tentang identitasku sebagai pendonor. Apa bapak bisa mengusahakan itu ?".
Pria paruh baya itu tampak berpikir sebelum ia meraih ponselnya dari kantong celananya dan berbicara sebentar.
"Oke, semua sudah disiapkan tinggal kesiapan dirimu untuk melakukan prosedurnya. Tidak akan ada yang tau soal identitas mu. Saya bisa jamin itu ".
Aku hanya mengangguk dan mengikuti pria paruh baya yang lebih dulu melangkah memasuki rumah sakit.Lamunan ku buyar seketika saat derak mengerikan terdengar saat gelas kaca dilemparkan kearah dinding dibelakangku.
Aku masih bergeming ditempat dudukku dibalkon taman samping rumah.
Aku sudah tau siapa pelakunya tentu saja.
Setiap ia pulang ia selalu mengamuk seperti itu. Ia selalu berteriak tentang keinginan nya bercerai dengan ku.
Lio muncul didepanku tepat saat aku meletakan kembali cangkir kopi panasku ke meja dihadapanku.
Diluar dugaan ku Lio meraih cangkir kopi panas tersebut dan melemparnya kearah dinding dibelakang ku.
Percikan air panas terasa menyengat di sekitar leher dan pundak ku.
Namun aku masih dengan tenang menatapnya dengan datar.
Lio masih terlihat berapi api dihadapanku.
"Aku mau kau angkat kaki dari rumahku jalang, aku jijik melihatmu dihadapan ku.
Belum sempat aku menjawab karena suara bel pintu menghentikan ku.
Ku putuskan untuk menyambut tamu saja daripada mulai berdebat dengan Lio.
"Lama banget sih bukain pintu aja lemot banget. Heran saya sama Lio kok mau nikah ya sama kamu yang gak ada guna nya ini".
Lagi lagi hinaan seperti ini ku terima dari Tante Laura. Tepatnya mertua ku yang datang selalu berdua dengan Hikaru.
Gadis cantik keturunan Jepang yang ingin sekali dijadikan menantu oleh Tante Laura namun sayangnya anaknya keburu menikahiku saat itu.
Hikaru terlihat cantik mengenakan dress selutut polkadot.
Tanpa malu malu ia memeluk manja Lio yang berada dibelakangku.
"Mending kamu ceraikan dia Lio. Perempuan tidak jelas asal usul nya ini buat mama marah terus kalo main kesini".
Lio menggiring keduanya kearah ruang tamu tanpa mengindahkan ku yang menutup pintu dibelakang mereka.
Menuju kamar mungkin lebih baik pikir ku sebelum teriakan Hikaru bergema manja.
"Astagaaa kok bisa ada noda darah dilantai sih. Istri mu benar benar gak becus ngurus rumah ya. Pokok nya kamu harus ceraikan dia Lio dan nikah sama Hikaru".
Aku berubah pikiran saat mendengar serentetan caci maki mertuaku.
Ku putuskan untuk ke taman kompleks saja sampai mereka pulang seperti biasa.
Hanya dengan kaos lengan panjang dan celana rumahan yang melekat ditubuhku saat aku menduduku bangku taman.
Aku duduk melamun disana berjam jam hingga malam menjelang.
Tanpa ku sadari seorang bibik tua mendekati ku dengan perlahan.
Isak lirih nya mampu membuatku menoleh kepadanya.
Mata ku menemukan Bik Laras sudah disampingku sambil menangis.
Perempuan tua yang sudah ku anggap pengganti ibu ku itu menangis hingga pundak nya gemetar.
Aku juga ikut menangis tanpa ku sadari , tidak ada kata yang terucap diantara kami.
Pelukan hangat itu menyelubungi tubuh dan hatiku.
Hanya pelukan ini yang mampu menembus pertahanan ku.
"Kangen nak.... bibik kangen..... ".
Hanya kata itu yang berulang kali ia ucapkan.
Aku meringkuk dalam pelukan nya. Rumah seorang anak adalah pelukan seorang ibu. Tapi bagiku pelukan Bik Laras adalah rumahku.
Kami menghabiskan waktu beberapa saat hanya dengan menangis.
Entah berapa lama aku tertidur dalam pelukan Bik Laras.
Yang jelas udara sudah mulai terasa dingin saat aku membuka mataku.
Bibik masih memeluk ku seerat tadi.
Ku tegakan tubuhku dan mengurai pelukan bibik dari ku.
Bibik kembali memeluk ku erat hingga terasa sesak.
" Tidak nak, jangan pergi lagi. Bibik mau kamu pulang ya ?".
"Pulang kemana bik ?".
"Ya pulang ke rumah nak".
" Dari kecil aku ini gak punya rumah bik. Aku ingin pulang tapi pulang kemana " suara ku sudah mencicit parau.
"Bibik ini kan ibu mu nak. Pulang sama bibik ya ".
Ku gelengkan kepala ku yang tertunduk.
"Jangan bandel, "
Pukulan Bibik mendarat dilenganku. Pukulan demi pukulan dilayangkan padaku hingga pukulan nya melemah dan menjadi tepukan pelan.
Aku sama sekali tidak menghindar ataupun menghentikannya.
Bibik kembali menangis sembari memintaku pulang.
"Tidak ada yang menginginkanku disana bik, aku tidak bisa pulang kesana karena itu bukan rumahku".
"Baiklah, sekarang kamu tinggal dimana ? "
Aku kembali menggeleng.
Bibik kembali menangis, namun kali ini dia memeluk ku lama.
Ia tidak bertanya lagi sampai akhirnya aku memanggil taksi untuk nya.
Aku berjanji padanya untuk menemuinya lagi di taman ini hari minggu besok baru setelahnya bibik setuju untuk pulang.Jarum jam sudah menunjuk angka 10 saat aku memasuki rumah.
Langkah gontaiku menuju kamarku yang memang terpisah dari kamar Lio.Duduk terpekur didepan jendela yang sengaja ku buka.
Segala macam hal berkecamuk dikepala ku.
Rencana masa depan yang seperti apa yang ingin ku jalani kelak.
Keberadaan ku sudah ditemukan oleh bibik.
Aku senang bertemu dengannya, rasa nya lebih ringan saja. Namun aku tau bibik akan membujuk ku untuk pulang.
Perlakuan orang orang disana tidaklah berbeda sebenarnya daripada disini.
Caci maki dan hinaan bukan lah hal aneh yang dilayangkan padaku.
Beda nya disana ada bibik Laras yang menangisi ku saat semua itu terjadi padaku.
Oleh karena itu, aku tidak ingin membuatnya ikut terseret dalam maslaah pribadi ku.
Ia terlalu baik untuk diperlakukan seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA KADALUARSA
RomanceKeberadaanku tidak pernah diinginkan. Bahkan oleh ibu kandungku sendiri. Hingga nadi kehidupan ini membawaku bertemu dengan mu. Mungkin ini menjadi pelarian terakhirku Karena aku tau semuanya memiliki waktu kadaluarsa . cukup bersabar sedikit lagi...