Nggak kerasa udah mau jam dua siang, yang mana bentar lagi mereka harus berangkat ke rumah temen papa. Pria awal empat puluhan itu udah siap teriak-teriak dari ujung tangga,
Menanti anak perempuannya yang lamban, daritadi nggak keluar-keluar kamar. Katanya ada barang yang lupa dimasukin koper, which is sesuatu yang penting dan nggak bisa ditinggal gitu aja.
Joshua nggak tau dan nggak mau tau, cuma masalahnya ini anak dari sepuluh menit yang lalu nggak nongol-nongol, ngapain sih?
"Adek!!!"
Panggilan ketiganya itu belum juga mendapat respon, alhasil Joshua berniat menghampiri Alda—yang keburu keluar kamar sambil geret koper.
"Ngapain sih kamu? Nyari hidayah?"
"Ehehehehe."
Akhirnya mereka udah ada di dalam mobil dan bersiap menuju rumah temen papanya yang bakal jadi tempat penampungan Alda sementara waktu.
"Btw, papa kerja disana berapa lama?"
"Belom tau."
Alda melipat bibirnya kedalam terus menyenderkan badan ke sandaran kursi, kepalanya nengok ke samping, liatin pemandangan jalan dari jendela.
Setengah jam kemudian, mobil berhenti di depan rumah minimalis bercat coklat muda. Pak Hoshi keliatan langsung turun buat ngambil koper cewek itu sementara papanya udah masuk ke dalam.
Rumah tingkat dua itu ada taman di halaman depannya, tengah diisi kolam ikan yang nggak begitu besar, lalu di sisi kanan deket tembok (pemisah antar rumah) ada pohon nggak tau pohon apa yang sebelahnya berdiri ayunan.
Alda sedikit takjub sih, rumahnya keliatan asri banget apalagi banyak tanaman dan rumput hijau yang rutin dirawat.
Berdiri di belakang papanya, Alda yang lagi liatin sekitar rumah itu kontan menoleh saat pintu utama dibuka. Mereka dipersilahkan masuk sama salah seorang asisten rumah tangga.
Ternyata di ruang keluarga—nggak tau ini kenapa mereka dianter ke ruang keluarga alih-alih ruang tamu—udah ada pasangan suami istri yang lagi duduk.
"Joshua! Sini-sini duduk."
"Halo mbak, mas." ujar papanya sambil salaman.
Sebagai orang yang nggak tau apa-apa, Alda cuma diem ngintilin papanya. Bingung mau melakukan apa, intinya dia juga ikutan salim.
"Eh, ini Alda ya?"
"I-iya, tante." ujarnya kaku, macem kawat gigi.
Wanita paruh baya itu tiba-tiba menangkup pipinya sambil senyum hangat, "panggil bunda aja, kamu udah gede ya, terakhir bunda ketemu waktu kamu masih merah-merah baru keluar dari perut." ujarnya sambil terkekeh.
"Pertama dan terakhir sih, soalnya abis itu kami pindah ke Aussie." sahut suaminya mengoreksi.
"Dan aku lahiran disana." ujar bunda terus ketawa.
Alda senyum canggung terus ikut duduk di sebelah papanya, nggak biasa ketemu orang baru dia tuh sebenernya, makanya akan sangat amat pendiam.
"Kayak yang aku bilang waktu itu mas, mbak, mau nitipin Alda disini selagi aku kerja di Canada, boleh kan...?"
"Boleh dong, kayak sama siapa aja kamu pake ijin. Tinggal selamanya disini juga nggak apa, biar mbak ada temen, hehe."
"Iya, kamu fokus kerja aja, biar anakmu diurus sama kita, dijamin aman tentram."
Papanya ketawa, dua laki-laki itu lanjut ngobrol mengabaikan Alda yang sekali lagi terdiam membisu meratapi nasib. G
"Alda, ikut bunda yuk."
"Ha-oh, i-iya."
Cewek itu lantas bangkit mengikuti bunda, pikirannya udah ngalor-ngidul berspekulasi ini dia mau dibawa kemana, taunya cuma ke dapur disuruh duduk liatin beliau bikin minuman.
Ealah.
"Kamu sekolahnya dimana?" tanya bunda memecah hening.
"Di Tomorrow High School tan—eh, bun."
"Wah, kirain di Ilander."
"Bukan, hehe."
"Tapi kamu seangkatan sama anak bunda, loh."
Alda mengerjap, bunda punya anak seumuran dia?
"Iya? Cewek apa co—aw!" tiba-tiba Alda meringis saat sesuatu mengenai belakang kepalanya, lalu matanya bergulir menatap benda yang mengenai kepalanya itu udah terdampar di atas meja.
Itu Kok. Benda berbulu angsa yang dipake main badminton.
"Astaga!" bunda berseru dari balik mini bar, matanya menatap tajam biang kerok yang berdiri deket tangga.
Sontak Alda ikut menoleh sesaat setelah bunda berteriak nyaring penuh emosie,
"Jake!!!"
Jake be like : "O-ow"
—
yang sider disosor soang🦶🏻