Adita membalikkan badan, duduk di kursi yang ada di sana. "Duduk dulu ya? Ceritanya panjang lho," ucapnya lalu terkekeh.
Arkan mengikuti Adita. Setelah duduk, Adita mulai bercerita. "Saya punya dua kakak. Kak Vano sama Kak Devan." Arkan diam, mendengarkan Adita bercerita.
"Ayah saya dulu menyalahkan Kak Vano atas kecelakaan yang dialami Bunda dan menyebabkan Bunda koma selama lima tahun."
"Selama lima tahun itu, Kak Vano selalu menerima perlakuan kasar dari Ayah." Adita menoleh sekilas ke arah Arkan lalu kembali menunduk, melihat kakinya yang bergerak pelan.
"Perlakuan buruknya nggak cuma perkataan kasar, tapi juga pukulan. Ayah mukul Kak Vano pake ikat pinggang, bahkan pake tongkat kasti."
Arkan meringis mendengarnya. Arkan melihat tangan Adita yang terangkat, mengusap pipi. Ia yakin, Adita pasti sedang menangis.
"Pas Bunda sadar dari koma, Kak Vano sama Kak Devan mengalami kecelakaan yang membuat Kak Vano kehilangan fungsi penglihatannya."
Adita melanjutkan ucapannya dengan suara lirih, "Ayah waktu itu nyesel banget sama apa yang udah dia lakukan ke Kak Vano."
"Dia baru nyesel setelah lima tahun?" Arkan mendengus kecil. "Pas mukul anaknya, apa dia nggak mikir anaknya bakal terluka?" Adita terkekeh kecil mendengarnya.
"Ehh," Arkan meringis, "sorry, gue nggak maksud jelekin Ayah lo."
"Nggak papa." Adita tersenyum. "Kalau kamu jadi Kak Vano, apa yang akan kamu lakukan? Memaafkan atau--"
Belum sempat Adita menyelesaikan ucapannya, Arkan sudah memotong. "Gue nggak akan memaafkannya sampe kapan pun. Gue akan membencinya. Kak Vano mesti juga gitu, gue yakin!"
Adita menggeleng, "Kamu salah."
Kedua alis Arkan tertaut. "Terus?"
"Kak Vano dengan mudahnya memaafkan kesalahan Ayah. Nggak ada sekecil pun rasa benci dia ke Ayah. Karena rasa sayang Kak Vano ke Ayah lebih besar daripada rasa benci."
Arkan menggeleng takjub. "Wahh, dia hebat banget."
Adita terkekeh mendengarnya. Hening menyelimuti mereka sebelum Adita berdehem untuk kembali berbicara.
"Arkan," panggil Adita, membuat Arkan menatapnya. "Kamu juga hebat kalau kamu bisa memaafkan Ibu kamu. Mau memaafkannya?"
Setelah cukup lama berpikir, perlahan kedua sudut bibir Arkan terangkat, membentuk sebuah senyuman. Arkan mengangguk. "Gue mau maafin Ibu."
Adita tersenyum mendengarnya. Cewek itu mengambil sesuatu dari dalam saku jas lalu memberikannya ke Arkan.
"Loh, kuncinya?"
Adita terkekeh melihat raut terkejut Arkan. "Iya, ini kuncinya."
Dahi Arkan berkerut. "Bukannya tadi udah lo lempar?"
"Enggak tuh, tadi nggak saya lempar," Adita menahan tawanya. "Kamu aja yang ketipu dengan gerakan tangan saya."
Melihat raut kesal tercetak jelas di wajah Arkan dan mendengar cowok itu mengumpat, Adita tidak bisa menahan tawanya.
***
Dimas mengedarkan pandangan, mencari keberadaan seseorang diantara banyaknya orang yang baru saja keluar dari gedung.
Tangan kanan cowok itu menggenggam sebuket bunga mawar dan tangan kirinya menempelkan ponsel ke telinga. "Ta, lo dimana?"
Seseorang yang ada di sebrang telepon menjawab, "Lagi makan di kafe deket gedung tempat Arkan lomba."
Dimas tersenyum. "Oke, tungguin gue di sana ya!"
"Lah, lo mau nyamperin kita?" Adita bertanya.
"Iya," Dimas melirik buket bunga lalu berkata, "jangan pulang dulu sebelum ketemu gue, oke?"
Sebelum mendengar jawaban Adita, Dimas sudah memutuskan sambungan telepon. Cowok itu memasukkan ponsel ke dalam saku jas sambil berjalan cepat ke parkiran.
***
Dimas keluar mobil. Sedikit membungkukkan badan lalu berkaca di kaca spion mobil. Setelah merapikan rambutnya yang sedikit berantakan, Dimas berjalan menjauhi parkiran.
Melihat Adita bersama Arkan keluar dari kafe, kedua sudut bibir Dimas terangkat. Sebenarnya dia sedikit tidak suka melihat Adita dekat dengan Arkan, tapi mengingat Arkan adalah saudara sepupunya, Dimas tidak mempermasalahkannya.
Ya, meskipun dia masih kesal dengan Arkan yang menjadi saingannya untuk mendapatkan Adita.
Dahi Dimas berkerut bingung melihat orang tua Arkan berjalan di belakang mereka. Daripada penasaran, Dimas mempercepat langkahnya.
Kurang lima langkah lagi Dimas sampai di depan mereka, tapi dia berhenti ketika mendengar adik dari Mamanya bertanya pada Adita. "Kapan acara pertunangan kamu, Ta?"
Deg!
Dimas tidak salah dengar kan? Pertunangan? Adita akan bertunangan? Dimas menggeleng. Pasti dia salah dengar. Ya, dia pasti salah dengar.
Tapi, melihat Adita tersenyum dengan rona merah di kedua pipi dan jawaban yang keluar dari mulut cewek itu membuktikan Dimas tidak salah mendengar apa yang Laras tanyakan tadi. "Minggu depan, Bu."
Sebelum mereka melihatnya, Dimas segera pergi dari sana. Hatinya benar-benar hancur. Niat Dimas hari ini menyatakan perasaannya pada Adita gagal.
Dimas sudah terlambat.
🌼🌼🌼
Yahhh, kasihan Dimas:(
Selamat membaca bab berikutnya
Terima kasih sudah membaca dan memberi suara😊20-07-2020
![](https://img.wattpad.com/cover/220101256-288-k498813.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Me VS Pak Guru✔
Teen FictionCOMPLETED Alfian Series 3 Gue Arkan Yudhistira pasti bisa ngalahin guru yang sama semua cewek yang ada di sekolahan disebut guru paling ganteng--Dimas Adi Pranata--ambil hati guru baru pelajaran Matematika yang terkenal cantik itu. Adita Putri. --- ...