BAB 13 - Rumah Sakit

376 60 2
                                    

Adita tertawa kecil melihat raut wajah terkejut Arkan. "Kenapa kamu terlihat sangat terkejut?"

Arkan menutup mulutnya yang sedikit terbuka. "Nggak!" ketusnya.

Adita memiringkan kepala, melihat wajah Arkan yang penuh luka. "Sebaiknya kamu segera diobati. Mau saya antar ke rumah sakit?" tawarnya.

Mendengar kata rumah sakit membuat Arkan membulatkan kedua matanya. Cowok itu membalikkan badan. Baru berjalan satu langkah, cowok itu meringis kesakitan sambil memegangi perut.

Adita mendekat. "Saya antar ke rumah sakit."

"Nggak usah!" Tangan Arkan terangkat, mengurungkan niat Adita yang hendak membantu cowok itu. Arkan melirik Adita tajam. "Gue bisa sendiri!"

Arkan hendak kembali melangkah, tapi cowok itu jatuh tersungkur ke aspal. Adita tersenyum meremehkan, "Masih mau menolak bantuan saya?"

Belum sempat menjawab, Adita sudah mengalungkan tangan Arkan di lehernya. Adita membantu Arkan berdiri, menuntun cowok itu ke arah mobilnya.

"Gue bilang, gue bisa sendiri!"

Adita berhenti melangkah. Terdiam sebentar lalu melepaskan tangan Arkan yang dilingkarkan ke lehernya dengan kasar.

Bruk!

"Aduh!" Arkan meringis.

Adita tersenyum miring melihat Arkan terjatuh. "Katanya bisa sendiri?"

Cowok itu menatap tajam Adita. "Lo sengaja?!"

"Iya," jawab Adita enteng. "Kalau kamu mau sendiri ke rumah sakit, silahkan. Saya nggak akan bantu kamu."

Cewek itu melirik motor sport milik Arkan yang terparkir beberapa meter dari mobilnya. Kembali menatap Arkan lalu berkata, "Emangnya kamu bisa bawa motor dengan keadaan penuh luka gini? Jalan aja nggak bisa apa lagi bawa motor."

Arkan melotot mendengar ucapan Adita barusan.

"Kenapa mata kamu kayak mau keluar gitu?" tanya Adita. "Bener kan kata saya?"

Arkan mengumpat pelan. Setelah itu berkata, "Ya udah!"

"Ya udah apa?"

"Bantuin gue!"

***

"Eh lo!"

Arkan melirik Adita yang sedang fokus menyetir. "Eh!" panggilnya lagi.

"Eh!"

Arkan berdecak keras. "Ck, Bu Adita!"

Adita menoleh sekilas, tersenyum melihat Arkan yang terlihat kesal. Ia kembali fokus menyetir. "Kenapa?"

"Lo dari tadi gue panggil!"

"Saya nggak ngerasa kamu manggil nama saya, tuh," Adita menahan tawanya. "Saya punya nama, Arkan. Jadi, jangan panggil saya 'eh'."

Adita melirik Arkan yang memutar bola mata malas. "Meskipun lagi di luar sekolah, kamu tetap harus menghormati saya sebagai guru kamu."

"Hm." Arkan berdehem. "Motor gue gimana?"

Adita melirik sekilas Arkan yang melihat ke luar jendela mobil. "Orang suruhan saya sudah membawa motor kamu."

Tak lama, terdengar suara dering ponsel. Arkan mengambil ponsel dari dalam saku celana. Kedua matanya melebar melihat nama yang tertera pada layar ponsel.

Arkan menempelkan ponselnya ke telinga. "Ya?"

"..."

"Secepatnya saya ke sana."

Tut, tut!

Arkan menoleh ke arah Adita. "Bu, bisa lebih cepat ke rumah sakit-nya?" Adita mendengar jelas nada cemas dari suara Arkan.

Adita mengangguk. Cewek itu menambah kecepatan mobilnya. Saking cepatnya, Arkan sampai berpegangan pada handle.

"Bu, jangan cepet-cepet napa? Jangan kek pembalap, deh!"

Adita malah tertawa mendengar protes dari Arkan. Siapa ya yang tadi menyuruh mempercepat laju mobilnya?

Dan ya, apa katanya tadi? Jangan kek pembalap?

Ingin sekali Adita tertawa terbahak-bahak kalau tidak ingat dirinya sedang menyetir--dengan kecepatan tinggi, jangan lupakan itu.

Arkan tidak tahu saja kalau Adita adalah seorang pembalap mobil yang pro dan mempunyai kakak seorang pembalap mobil.

Adita juga sudah memenangkan banyak perlombaan balap mobil. Lagi-lagi, Adita bersyukur. Bersyukur karena kakaknya sudah mengajarinya balapan mobil.

***

Rasa cemas yang tinggi membuat Arkan lupa dengan rasa sakit yang ada di badannya. Cowok itu berjalan cepat menuju salah satu ruang rawat inap.

Arkan membuka pintu ruang rawat inap itu dengan kasar. Berjalan cepat masuk diikuti Adita yang ada di belakangnya.

"Ayah!"

Arkan menggenggam tangan seorang pria paruh baya yang terbaring lemah di ranjang, memberinya kekuatan. 

Cowok itu menoleh ke arah seorang dokter yang sedang memeriksa Ayahnya. "Gimana keadaan Ayah saya, dok?"

Dokter yang masih muda dan cantik itu telah selesai memeriksa. "Ayah kamu harus segera dioperasi."

Dokter itu melanjutkan ucapannya, "Pendonor ginjal untuk Ayah kamu sudah ada. Sebaiknya, kamu segera selesaikan administrasinya."

Arkan mengangguk. "Baik, dok."

Kedua mata dokter itu menangkap keberadaan seseorang yang berdiri di depan pintu. Dokter itu tersenyum, membalas senyum hangat Adita.

"Ya sudah, saya keluar dulu," pamitnya.

Arkan mengangguk. "Terima kasih, dok."

Vania Azzahra, dokter itu tersenyum. "Sama-sama."

***

Sudah berulang kali Arkan membaca nominal yang tertera pada kertas. Berulang kali juga dia mengerjapkan kedua matanya. Masih tidak percaya dengan nominal yang harus dia bayar agar Ayah-nya bisa segera dioperasi.

Cowok itu mengalihkan pandangan dari kertas yang dia pegang ke arah seseorang yang berdiri di balik kaca. "Maaf Sus, apa ini tidak bisa kurang?"

Suster itu menggeleng. "Maaf, dek. Nggak bisa."

"Kalau saya bayar separuhnya dulu gimana, Sus?"

Suster itu menangkap keberadaan seseorang yang berdiri tak jauh dari Arkan. Kembali menatap Arkan lalu tersenyum. "Bisa, dek."

Arkan menghela napas lega. Membuka resleting tasnya, mengeluarkan sejumlah uang yang sudah dia dapatkan lalu menyerahkannya kepada perawat bagian administrasi.

"Ini Sus, kekurangannya akan segera saya lunasi."

Suster itu mengangguk. "Baik."










🌼🌼🌼

Selamat membaca bab berikutnya
Terima kasih sudah membaca dan memberi suara😊

26-06-2020

Me VS Pak Guru✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang