38). Study Together Piter

25 14 3
                                    

Ceklek!!!

Satu bulan pun berlalu. Ira membuka lembaran kalender yang menunjukkan bahwa olimpiade akan siap dilaksanakan besok pada hari senin, dan hari ini adalah hari terakhir baginya untuk belajar bersama Piter.

"Syira!" Teriak Mami yang mengusik gendang telinga Ira sampai ke akar-akarnya, pikirannya yang sedang menguncang pening mendadak terhenti menjadi lebih luar biasa pening diikuti dengan layaran burung-burung yang berkicau.

"Iya mami," sahut Ira sembari beranjak dari peraduan menuruni anak tangga, ia menemukan maminya yang sedang belulur dengan lapisan tepung terigu beras. Make up alami tersebut membuat maminya semakin terlihat lebih muda, awet paripurna sehingga hampir menyaingi kecantikan anaknya sendiri.

"Mami denger dari Piter, besok kamu mau ikut olimpiade. Wah, ternyata anak kesayangan mami hebat juga yah. Tidak terasa sekarang kamu sudah berani mencetus prestasi. Semoga lolos ya nak," simpati Nera sedikit menggoda Ira. Gadis ini hanya terdiam, padahal sedari awal ia berniat ingin merahasiakannya dari sang ibu. "Ah, dasar pria bermulut judes sekaligus ember. Awas saja nanti akan ku pukul sampai meringis minta ampun," batin Ira sangat geram dengan alhasil laporan Piter kepada maminya. Ada-ada saja masalah, dan Piter selalu saja mencampuri urusan hidupnya.

"Selain itu, Piter ngomong apalagi sama mami? Dia pernah gak menjelekkan Ira didepan mami?" Tanya Ira menggenggam sifat keponya, ia berjalan mendekati dan duduk disamping maminya. Mukanya mulai dipasangkan sepolos mungkin seraya mencoba membujuk sifat batu maminya.

"Hampir semua tentang kamu selalu Piter ceritakan ke mami, termasuk sifat kamu yang sering menundukkan kepala di sekolah. Syira, mami tidak memintamu jadi anak pemalu. Bagaimana jika nanti kepala kamu tidak bisa diluruskan lagi? Mau kamu di vonis patah tulang?" Oceh Nera masih fokus menatap cermin dengan polesan ajaibnya, tepung beras.

"Dasar lelaki judes, sudah berapa banyak dia melaporkan keburukan ku pada mami? Rasakan saja nanti akan ku bongkar rahasianya kepada tante dokter." Batin Ira lagi dengan umpatan kerasnya. Tanpa disadari, Ira sudah berubah menjadi judes dan suka mencerca. Dia telah berubah!

"Mami tidak profesional sekali," hina Ira mengajak Nera berkonflik saat ini juga.

"Tidak profesional bagaimana maksudmu?" Elak Nera yang selalu fokus pada cermin dan mulai menguliti komedonya satu per-satu.

"Ya sudah, jangan dengerin perkataan Piter. Dia hanya bermain-main dengan itu." Jelas Ira.

Nera hanya mengangukkan kepala santai tanpa menilik tulang punggung anaknya yang keluar dari pintu depan rumah. Tapi, pandangannya segera beralih.

"Eitz, mau kemana kamu? Biasanya anak mami yang manja tidak pernah keluar rumah. Bukannya kamu tidak menyukai area keramaian?" Tanya Nera berdecak cengir sambil meletakkan alat kecantikannya ke meja, ia menghirup beberapa udara segar dan menilik anaknya.

"Oh iya ya mi, Syira lupa jika Syira tidak suka keramaian. Untung saja mami ngingetin. Terimakasih mami ku sayang." Dia menepuk kepalanya lembut, mencoba mendongak beberapa kali. Ira kembali berbalik arah dan naik ke kamarnya lalu duduk memandangi suasana luar dari jendela.

Nera masih berdiri mematung, melihat kepikunan anaknya itu. Mukanya yang tetap putih karena diliputi tepung membuatnya sepercis hantu karena sedang berdiri termangu.

"Dia anakku kan? Umurnya masih lima belas tahun atau sudah bertambah? Kenapa Syira mendadak menjadi linglung dan sering pikun?" Heran Nera seraya memijit kepalanya yang sedikit pusing lalu kembali duduk. "Ah ya sudahlah, lagipula aku masih memiliki calon menantu yang akan senantiasa menjadi penjaga bagi Syira." Lanjutnya melepas rasa khawatir.

Move On (Segera Terbit♡)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang