Keesokan harinya.
Setiap untaian harapan masih terus dihaturkan diselingi dengan belaian lembut sang angin yang sedang menilik langit ketika memancarkan warna putihnya.
Hari ini, Piter sengaja mengambil cuti sekolah dan memutuskan untuk tetap menunggu Ira terbangun dari koma. Piter dan Nera menatap pilu sehingga membuat Nera muak dengan kondisi saat ini, Nera pun beranjak ke luar ruangan dan mencoba untuk menenangkan diri. Sementara Piter, ia masih duduk di samping ranjang Ira.
"Tuhan, apa salahku sehingga engkau menghukum anakku seperti ini?" Nera merosotkan tubuhnya yang tersandar di pintu, sehingga perlahan ia pun duduk di depan pintu sambil mengela dengan sangat berat. Pria ber-hoddie hitam masih menatapnya lekat, dan entah kenapa orang itu tak pernah bisa dipergoki.
Dengan kekuatan yang masih tersisa, Piter akan terus menunggu sosok Ira untuk sadar. Ia mulai membaringkan kepalanya disebelah jemari Ira, dan beberapa saat ia menjadi sedikit gusar.
Tangan Ira bergerak seketika yang membuat Piter tertohok sekaligus bahagia.
"Dokter! Suster!" Ruah Piter dengan teriakan antusias yang dipandang Nera dengan tatapan heran.
Dokter pun mendatangi ruangan tempat dimana Ira masih dirawat.
"Dok, tolong periksa keadaan Ira. Tadi saya liat kalau tangannya bergerak." Jelas Piter.
Dokter pun memeriksa keadaan Ira, ia mengecek kondisi tubuh anak itu sembari membuka beberapa kelopak mata Ira secara bergantian.
"Keadaannya semakin membaik. Sungguh ini adalah mujizat dari Tuhan. Sebentar lagi, dia akan segera sadar." Jelas dokter yang ikut berbahagia dengan perubahan kondisi Ira.
Dengan pelan, Ira pun mulai membuka kelopak matanya dan pandangan itu masih terlihat kosong karena memang ia masih sedikit trauma dengan peristiwa kecelakaan yang menimpanya.
"Dok, Ira sadar." Pekik Piter lagi.
"Saya dimana?" Ira menyentuh kepalanya yang sakit, dan lengannya juga masih terasa nyeri untuk disentuh.
"Kamu di rumah sakit. Ini saya dokter Revan. Saya dokter yang menangani luka kamu."
Ira hanya mengangguk dengan mata karena seluruh tubuhnya masih sulit untuk digerakkan.
"Ya sudah, pasiennya jangan terlalu sering di ajak ngobrol. Dia masih butuh istirahat, kalau begitu saya tinggal dulu karena masih banyak pasien yang harus saya periksa." Pamit dokter Revan yang langsung keluar menuju ruangan lainnya.
Nera langsung duduk di kursi yang membuatnya terlihat sangat dekat dengan anaknya.
"Mi, Ira kenapa bisa disini?" Tanyanya yang masih penasaran.
"Kamu kecelakaan ketika pengen menjemput mami. Maafkan mami, sayang. Semua ini disebabkan oleh mami. Maaf!" Serah Nera menyesal yang ditatap oleh Ira dengan mata pilunya. "Mami gak salah kok, cuman Ira aja yang bandel." Cela Ira yang sekarang sudah membuat Nera sedikit tenang.
Kemudian, Ira pun menilik ke sebelahnya. Melihat kehadiran sosok pria teenager yang harusnya berada di sekolah, bukan di rumah sakit.
"Ngapain Lo disini? Pasti bolos lagi." Tutur Ira dengan nada lemah gemulainya. Bahkan disaat sedang merasakan kesakitan, ia tetap mampu untuk memulai perdebatan dengan Piter. Sungguh, dua sejoli yang tak pernah bisa dihindarkan dari perdebatan.
Piter menghela nafas.
"Sekali-kali gak sekolah juga gak bakalan bikin gue rugi kok. Lagian, gue nungguin Lo tau dari semalam. Mangkanya, kalau mau tidur jangan kelamaan nanti gak bangun lagi baru tau rasa Lo." Canda Piter yang ditatap Ira dengan reaksi datar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Move On (Segera Terbit♡)
Teen FictionJangan lupa vote-komen dong! 📝Rank #1 Ocehan [5 September 2020] #3 Syira [5 September 2020] #6 Versus [4 September 2020] #7 Broken Hearted [5 September 2020] #23 Melupakan [19 September 2020] #626 Mimpi [24 Oktober 2020] #27 Sosial [24 Oktober 2020...