Prolog

12.2K 393 0
                                    

Don't forget to vote and comment, guys🤗💓
Biar author semangat nulis😁
Oh ya, mampir ke novelku "Keajaiban Kata" juga ya🤗

Saat sedang membaca buku bersama teman-temannya di perpustakaan, Safina langsung berlari keluar usai melihat pesan di ponselnya.

"Aku pulang duluan ya, guys."

Dengan cepat Safina menuruni tangga. Untuk sejenak dia berhenti di depan perpustakaan dan menghela napas. Setelah itu dia kembali berlari hingga sampai di gerbang. Matanya menengok ke kanan dan kiri, seperti sedang mencari sesuatu. Tiba-tiba pandangannya terhenti. Dia pun mengulas sebuah senyuman di bibir mungilnya. Lelaki yang duduk di motor di seberang jalan pun memutar motornya dan menghampirinya.

"Hai. Udah lama nunggu, ya?"

Lelaki bercelana jeans itu pun membuka helmnya. Matanya menyorot tajam.

"Lihat nih, aku sampai keringetan nungguin kamu panas-panasan dari tadi. Mana lagi laper," keluhnya sambil menyincingkan lengan bajunya.

"Maaf, Tomi. Aku lagi nyari materi di perpus buat presentasi. Aku nggak lihat jam dari tadi. Kenapa kamu nggak nyari makan duluan aja?"

"Gimana sih? Aku kan maunya makan sama kamu. Lagian udah janjian dari semalem juga. Kebiasaan sering lupa. Udah tua ya gitu."

Safina menundukkan kepalanya begitu Tomi membentaknya. "Maaf".

"Masih mau berdiri di situ? Ayo cepet naik."

Safina pun mengikuti titah lelaki itu. Namun dia duduk di jok belakang dengan sedikit menjaga jarak.

"Kenapa duduknya jauhan? Malu diboncengin pake motor matic?"

"Enggak. Kan kamu masih marah sama aku."

"Cepetan maju. Jangan lupa peluk aku. Lihat tuh kaya pasangan lain boncengannya mesra."

Dengan ragu Safina mulai memeluk Tomi.

Tak lama kemudian, kedua sejoli itu pun tiba di salah satu warung bakso yang terletak tidak jauh dari kampus Safina. Tomi meminta Safina masuk terlebih dahulu, sementara dia memesan bakso dan minuman. Setelahnya dia pun duduk di depan kekasihnya itu.

"Ya ampun, Tom. Keringat kamu sampai kaya gini."

Safina mengambil tisu dari dalam tasnya dan menyeka keringat di kening Tomi. Lelaki yang sedari tadi enggan menatapnya itu pun mulai luluh. Kemarahannya telah mencair oleh perhatian Safina.

"Kamu kan tahu aku kalau kelaperan kaya gini. Makanya lain kali jangan telat lagi ya kalau ada janji sama aku. Kalau mau telat kamu kasih tahu aku dulu."

"Iya. Maaf tadi aku beneran lupa."

"Maafin aku juga ya karena udah marah-marah sama kamu. Aku nggak bisa nahan laper soalnya dan aku nggak mau makan duluan sedangkan aku sebelumnya udah ngajak kamu," ucap Tomi sembari mengusap kepala Safina.

"Nggak papa kok. Ya udah, jangan marah lagi ya. Masa kita ketemu cuma mau berantem."

"Iya, bawel. Aku seneng kalau bisa makan bareng gini. Jarang-jarang kan kita pulang kuliahnya bareng."

"Padahal kampus kita nggak jauh-jauh amat. Masih satu kota, sama-sama di Lampung. Gitu aja ketemu susah banget. Apalagi kalau LDR beda kota."

"Iya ya. Itu aja udah bikin aku rindu. Sekarang aku ngerti kenapa waktu itu kamu sedih waktu aku bilang mau kuliah ke luar kota. Ternyata berjauhan itu nggak enak. Di SMA kita bisa ketemu hampir tiap hari. Sekarang ngatur waktu buat ketemu aja susah, terkendala sama tugas kuliah."

"Nah sekarang kamu paham, kan? Aku nggak suka LDR dan nggak percaya sama LDR. Bukan karena rindunya aja, tapi takut nanti kamu selingkuh."

Tomi mencubit hidung Safina. Mereka terus bercanda hingga akhirnya bakso yang mereka pesan telah sampai ke meja mereka. Tomi langsung melahap bakso di hadapannya tanpa jeda, membuat Safina terkekeh.

"Pelan-pelan makannya. Kaya nggak makan setahun."

"Abisnya kelaperan dari tadi."

Tiba-tiba ponsel Tomi bergetar. Lelaki itu pun meminta kekasihnya untuk membacakan pesan whatsapp-nya.

Saat membaca pesan di ponsel Tomi, mendadak wajah Safina berubah masam. Air mata menitik di pipinya. Dia pun berusaha menghapusnya.

Tomi mengentikan makannya dan menatap Safina dengan kebingungan.

"Chat dari siapa? Kan aku suruh bacain. Kamu kenapa mukanya kaya gitu?"

"Ini chat dari pacar kamu," ujar Safina sembari memberikan ponsel itu ke Tomi. Tangannya pun gemerar saat memegang ponsel itu.

"Pa-pacar? Pacar aku kan kamu."

"Feby. Udah ya aku pulang duluan. Kamu selesaiin makannya."

Tomi menahan tangan Safina. "Kok pulang?"

"Mau ngapain lagi di sini? Tom, aku kecewa ya sama kamu. Ternyata begitu kelakuan kamu selama ini di belakang aku."

"Apa sih maksud kamu?"

"Aku baca pesan Feby. Setiap hari kamu chat mesra sama dia. Bahkan chat kalian itu parah banget. Kenapa nggak langsung aja ke hotel daripada lewat chat gitu. Jijik aku bacanya. Tom, kita itu udah pacaran tiga tahun lebih. Apa itu nggak cukup untuk bisa bikin kamu setia dan yakin sama aku? Kalau kamu bosen sama aku kenapa nggak ngomong terus terang dan ninggalin aku? Kenapa harus kaya gini sama cewek di belakang aku? Aku juga udah sering nanya kan sama kamu apa kamu masih mencintai aku dan apa kamu nggak bosen sama aku."

"Saf, tenang. Jangan keras-keras. Banyak orang di sini. Kita bicarain baik-baik ya."

"Biarin. Biarin semua orang tahu seperti apa kelakuan kamu. Aku selama ini udah cukup sabar ngadepin sikap over protektif kamu. Aku nggak pernah berpikiran buat ninggalin kamu apalagi nyelingkuhin kamu, tapi malah kamu yang kaya gini. Apa karena dia lebih cantik dari aku?"

"A-aku cuma bercanda doang sama dia."

"Bercanda? Apa begini bercandaan cowok sama cewek? Chat kaya gini tiap hari kamu bilang bercanda? Jangan-jangan itu bukan cuma sekadar chat. Apa kalian udah pernah...."

"Apa sih yang kamu pikirin? Jangan aneh-aneh."

"Udah cukup, Tom. Sekarang kamu pilih hapus nomor dia atau tinggalin aku?"

"Aku nggak bisa milih. Aku nggak mau ninggalin kamu dan aku nggak mungkin hapus nomor dia."

"Oke. Biar aku yang mundur. Silakan bersenang-senang sama cewek murahan kamu itu. Aku pamit. Jangan pernah hubungi aku lagi. Aku jijik sama kamu."

Tomi berusaha menahan Safina, tetapi tangannya langsung ditepis dengan kasar. Safina pun berlari keluar sembari mengusap air matanya yang terus menetes. Dia tidak peduli meski orang-orang menatapnya. Yang dia tahu hanyalah dadanya terasa amat sesak. Cinta yang telah dijaganya bertahun-tahun kini justru terasa membunuhnya.

Sejak saat itu, Safina tidak mau lagi pacaran. Dia selalu menolak setiap cinta yang datang. Gadis beriris mata cokelat itu hanya fokus belajar hingga dia wisuda.

Jika sebelumnya dia masih sering lepas pasang jilbab, kini dirinya mantap berhijab. Bahkan penampilannya berubah drastis. Dia tidak pernah keluar rumah tanpa memakai gamis dan hijab lebar. Dia pun sudah berniat untuk tidak berpacaran lagi dan memilih untuk menunggu kedatangan laki-laki yang nantinya mau langsung meminangnya tanpa proses pacaran.


Hi my followers🤗 Yuk selain baca novel² karyaku, baca juga novel² karya temenku ya @PenulisRetceh
Salah satu karyanya berjudul Si Gadis Introvert Jatuh Cinta. Don't forget to vote and comment🤗

Aku Bukan Pelakor [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang