[1] Anak siapa ini woy!

40.1K 3.8K 612
                                    

"Cokelat satu, garam dua bungkus, susu cokelat empat botol

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Cokelat satu, garam dua bungkus, susu cokelat empat botol. Yang lain boleh di lupain, kecuali cokelat. Itu penting!" Pemuda itu membaca pesan yang baru saja ibunya kirimkan.

Keringat terlihat jelas keluar dari arah keningnya. Berulang kali, Afgan mengusapnya. Netra hitamnya menatap jalanan yang lenggang.

"Masih lama ya bang?" tanya Afgan, pemuda itu tengah menunggu motornya yang sedang di tambal.

Saat di perjalanan menuju supermarket terdekat, tiba-tiba saja motornya terasa oleng. Beruntung, jarak bengkel ke supermarket lumayan dekat. Jadi, ia bisa memperbaiki motornya terlebih dahulu.

"Sebentar lagi dek."

Afgan mengangguk, pemuda itu kembali menggulir asal layar ponselnya. Ia bosan.

Saat tengah asik menggulir ponselnya, ia merasa adanya tepukan dari arah belakang, ia berbalik menatap anak kecil cantik berambut panjang nan tebal. Pipi yang tembem dan kemerah-merahan, netra hitam jernih yang menatapnya polos serta warna kulitnya yang putih bersih. Di lihat dari pakaiannya, bocah ini sepertinya anak orang berada.

Afgan tersenyum. "Halo dek!" Menyapanya.

Terlihat netra hitam jernih itu berkaca-kaca, tak lupa bibirnya mengerucut seperti hendak menangis.

"Papa, Dede lapel."

Mata Afgan membola! Heh, apa tadi? Papa?!

WOY, INI ANAK SIAPA YANG TIBA-TIBA MANGGIL DIA PAPA?

Ia mengorek telinganya takut salah dengar dan kembali menatap bocah itu.

"Heh bocah! Gue bukan bapak lu!" ketusnya, kembali tak menghiraukan sang anak yang kembali mencolek pinggangnya.

Posisinya, Afgan tengah duduk di kursi kayu yang disediakan di bengkel itu. Jadi, anak kecil itu mampu menjangkau pinggangnya.

Tangis bocah itu pecah, mendengar suara ketus itu. "Huaaa! Papa, Dede lapel!"

Beberapa orang dari bengkel itu, berbisik buruk tentang dirinya.

"Heh! Berisik di liatin orang." Afgan meringis malu menatap orang-orang yang tengah berbisik tentang dirinya dan bocah ini.

"Papa Dede lapel!" pekik bocah itu, berjalan ke hadapannya dengan menarik kedua tangan pemuda itu.

"Aduh dek, makanya masih kecil jangan dulu buat si kecil," celetuk montir yang tengah memperbaiki motornya.

Celetukan itu mendapat kekehan dari beberapa montir lainnya.

Afgan : Jadi Papa Dadakan! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang