59. Selamat Hari Ayah

96 31 6
                                    

El duduk di kursi tunggu depan ruang operasi dimana dadynya ditangani oleh dokter. Ketika masuk ruang ICU tadi, dokter mengucapkan bahwa Elbert harus segera ditangani dengan operasi pengangkatan peluru. Pukul 01.30 pagi dokter memulai operasinya

El diam seribu bahasa. Perasaannya berkecamuk, hatinya kalut, dan perasaannya begitu panik. Mengapa semua terjadi di hari ulang tahunnya? Baru saja ia merasakan kehangatan peluk bersama dadynya.

Selain itu, El sangat menyesali kebodohannya selama ini yang tidak mau tahu atau mencari tahu tentang kebenaran dadynya. Ia teralalu percaya dengan hal yang ia lihat saja.

Ara, Reyhan, Vano, dan Satria ikut khawatir melihat El. Ia diam dengan wajah dingin selama hampir 3 jam. Ia menolak segala tawaran minum atau apapun itu bahkan ucapan bundanya sekali pun El hiraukan.

'Siapa pun itu yang berada di balik penembakan ini, gue pastiin dia gak bakal tenang.' El membatin dengan mengepalkan kedua tangannya yang ia gunakan sebagai penyangga dagunya.

Pukul 05:12 pagi, lampu indikator ruang operasi menyala, tanda tindakan operasi sudah berhasil dan selesai. El langsung berdiri menunggu dokter keluar dari ruang itu. Helena mengelus pundak El memberi ketenangan.

Cukup lama menunggu dokter atau suster yang berada di dalam untuk keluar. Hal itu menambah kehawatiran El.

Akhirnya dokter keluar dengan dua susternya. "Dok, bagaimana keadaan dady saya? Sudah boleh ditemui?"

"Syukurlah operasinya berjalan lancar. Pelurunya sudah kami angkat. Tapi untuk dua jam kedepan pasien belum bisa ditemui karena masih perlu penanganan khusus sebelum dipindahkan ke ruang rawat inap." Jelas dokter itu detail.

El bernafas lega mendengar paparan dokter tersebut. "Tapi, dady saya beneran udah gak papa kan dok?" Tanya El lagi memastikan.

"Luka dalam akibat peluru tidak terlalu fatal karena pasien segera dilarikan ke rumah sakit. Namun, ada akan lebih lama bagi pasien untuk pulih karena efek racun yang ada di ujung peluru itu. Kasus ini akan kami serahkan pada polisi." Ujar dokter itu.

"Racun?" El heran.

Dokter itu mengangguk, "Ya, tapi kalian tenang saja, kami sudah berusaha semaksimal mungkin dalam menetralisir racun itu." Jelas dokter itu.

El mengepalkan tangannya. Pelaku itu memang cari mati. El tidak akan membiarkan dia hidup tenang.

"Baik, jika tidak ada yang ditanyakan lagi, saya permisi." Ujar dokter itu lalu pergi.

~LLS~


setelah dua jam berlalu, Elbert sudah dipindahkan ke ruang rawat inap. Namun, tidak boleh ditemui banyak orang.

Hari sudah mulai pagi. Kini El duduk di kursi dekat brankar tempat Elbert terbaring lemah lengkap dengan pakaian rumah sakit. Mata terpejam wajah pucat dengan selang di hidungnya yang membuat El terenyuh melihat dadynya.

"Dady, kenapa dady nyelamatin El? Seharusnya El yang ada di posisi dady." Lirih El menggenggam tangan Elbert.

El terus memandangi wajah dadynya. Ketika El serius memandangi setiap lekuk wajah dadynya, El baru sadar. Dadynya tidak lagi muda, kerutan di kening dan ujung matanya sudah terlihat. Seketika mata El memanas, hatinya seakan sesak. Air mata El jatuh begitu saja.

"Maafin El, Dady." Lirih El ditengah tangisannya yang sudah menjadi-jadi. El jarang sekali menangis, namun jika sudah perihal orang yang sangat ia sayangi ia begitu lemah. El kini sadar, bahwa selama ini ia selalu lari dari masalah. Ia juga membohongi dirinya, ia selalu mengelak bahwa ia sangat menyayangi dadynya. Rasa sayangnya selalu ia tutupi dengan keangkuhannya. Bibir El sudah sangat keluh. Ia tidak tahu bagaimana cara ia menjelaskan penyesalannya.

Long Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang