36. Tempramental

106 33 15
                                    

Tak terasa air mata Ara menetes mendengar cerita kelam El. Apakah ini yang membuat El sedingin itu?

Alice mengusap bahu Ara. "Cerita itu belum selesai semua..." ujar Alice. Ara menoleh ke arah Alice seperti meminta penjelasan.

Alice tersenyum, "He's smart. Dia cari tahu kenapa dadynya selalu marah, selalu mukul meski El gak salah. Dia yakin kalau dadynya sebenarnya sayang sama dia."

Alice menatap ke depan dengan pandangan kosong lalu melanjutkan ucapannya. "Entah dari mana dia tahu, kalau dadynya itu tempramental. Memang hanya kak Elbert dan Kak Lena yang tau. El masih kecil, dia belum diberi tahu."

Ara beralih menatap Elbert, yang ditatap mengagguk "Ya, i'm a tempramental."

Flashback on.

El kecil menangis memegang tangan bundanya yang sedang sakit demam. Ia menunggu tantenya-Rina, adik dari bundanya. Ia membeli resep obat dokter di apotek. "Bunda sabar yah, tante pasti bentar lagi dateng."

Bundanya tersenyum, "Sayang, kamu jangan nangis terus. Bunda cuma demam. Hapus air mata kamu." Lirih Helena menenangkan anaknya. Meski terasa sekujur tubuhnya tak berdaya, ia harus terlihat baik-baik saja di depan anaknya. El pun menghapus air matanya.

"Bunda pucat banget, tangan bunda juga dingin. El khawatir." Ucap El sambil menggenggam erat tangan bundanya. Helena mencoba tersenyum kuat.

Tak lama Rina datang membawa obat-obatan resep dari dokter yang memeriksa Helena tadi. "Kak, ini minum obatnya." Ucap Rina menyiapkan tiga biji pil yang berbeda dan segelah air hangat.

Helena meminum obatnya sekaligus. El yang melihatnya menelan salivanya. Ia sangat kasihan melihat bundanya, karena ia tahu, menelan pil sebanyak tiga biji itu susah baginya.

Helena mulai merasa lebih baik dari sebelumnya. Rina bernafas lega dan mulai berhenti mengompres kening kakaknya. Tak lama kemudian, Helena tertidur karena efek obat.

"El, kamu harus menjadi anak yang kuat. Kamu itu cowok. Jangan rapuh, kamu itu sandaran satu-satunya yang bunda kamu punya saat ini. Apapun yang terjadi, sesulit apapun kamu harus mampu berdiri di atas kakimu sendiri." Nasihat Rina pada El yang terlihat sangat sedih. Ia tahu anak seusia ini memang sangat rapuh harus menanggung beratnya perpisahan kedua orang tuanya.

Rina yang berusia 20 tahun saat itu, memang masih muda. Namun, ia sudah bisa menjadi sosok yang begitu dekat dengan El layaknya orang tuanya.

Rina mengusap kedua pipi El yang berahang tegas, mirip seperti dadynya. Dengan mata tajam yang indah. "El, apapun masalahmu, ceritakan sama tante. Tante akan jadi penguat kamu. Tante yakin, kamu kuat." Ujar Rina. El tersenyum dan memeluk Rina. Rasa-rasanya ia memiliki kekuatan baru setelah mendengar ucapan dari tantenya ini.

"El pamit dulu, tante. El ada urusan penting." Ujar El. Tantenya terkekeh, bagaimana bisa anak usia 7 tahun punya urusan yang sebegitu pentingnya.

"Kamu mau kemana?" Tanya Rina.

"Tante tenang aja. Ini rahasia. Jaga bunda ya..." El menyalimi tantenya. Tak lupa El mencium pipi bundanya yang sedang tidur. "El berangkat dulu bun sebentar. El mau berusaha buat kembalikan kebahagiaan bunda. I'll be right back." Lirih El.

El bergegas mengambil sepeda gunungnya. Ia mengayun sepedanya dengan semangat. Dua minggu setelah kepergian dadynya ia mencari tahu dimana dadynya tinggal saat ini. El sempat mengikuti dadynya saat tak sengaja melihat dadynya di dekat kantornya, ternyata dadynya tinggal di sebuah apartmen tak jauh dari sekolah El. Saat ini, El bertujuan untuk menemui dadynya. Sebisa mungkin ia akan membujuk dadynya untuk kembali.

Long Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang