72. Ara dan Dady

80 29 9
                                    

HAPPY READING💛

El menghentikan Najwanya di depan Masjid Jamik At-Tahirin, lalu memarkirkannya. Ara tidak protes atau bertanya, sudah jelas El akan menunaikan salatnya.

"Ra, gue solat dulu," ujar El membuka helmnya. Ara yang masih berdiri di samping Najwa hanya mengangguk.

"Helm jangan lupa buka," El mengingatkan Ara yang sering lupa membuka helm. Lagi-lagi Ara mengangguk lalu membuka helmnya.

Saat El sudah masuk ke tempat wudu bagian lelaki, Ara menuju tempat wudu bagian wanita. Mereka menunaikan salat duhurnya masing-masing. Semoga saja takdir membuat mereka bisa menunaikan salatnya secara berjamaah dalam satu atap. Aamiinkan readeerrsss!

Setelah melaksanakan salat, Ara keluar dari masjid. Ara terperangah saat tak mendapati Najwa terparkir. "Loh, kemana Najwa? Bukannya tadi ada di sini," monolog Ara sendiri.

"Masak iya El ninggalin gue?" monolog Ara lagi. Ara langsung menggeleng menepis pemikiran negatifnya. Ara masuk kembali ke dalam masjid, ia ingin mengecek mungkin El masih ada di dalam.

Ara celingukan mencari El di dalam masjid, namun tak kunjung terlihat batang hidungnya. Ara menggigit kukunya gusar, "Kemana sih El?" gumam Ara.

Ara melihat keluar masjid lagi, tetap saja nihil. Ara duduk di undakan teras masjid. Ia memijit pelipisnya lalu memejamkan matanya. Ara mendengkus sendiri, ia kesal dan Lelah dalam waktu yang bersamaan. "Bilang kek kalau emang mau duluan. Kayak jalangkung aja gak permisi, gak pamit. Hissh!"

Ara memeluk kedua kakinya yang ia tekuk, lalu menelungkupkan kepalanya di lipatan tangan yang berada di atas lututnya. "Tega banget sih lo El," cicit Ara yang diikuti dengan isak tangisnya. Untung saja tidak ada lagu 'ku menangissssss.'

~LLS~

El mengarahkan telapak tangannya ke depan sensor pembuka pintu otomatis. Seperkian detik pintu sebuah apartemen terbuka, El langsung masuk dengan tergesa-gesa. Ia menaiki tangga dengan berlari. Setelah sampai di depan ruangann yang El cari, ia berhenti untuk mengatur nafasnya yang terengah-engah.

El mengetikkan kata sandi di depan pintu ruangan itu, lalu pintu ruangan itu terbuka. El menarik nafas dalam, lalu menghembuskannya. Sebisa mungkin ia mencoba tenang dan menahan emosinya.

"El?" ujar seseorang yang berada di ruangan itu. Orang itu tersenyum hangat pada El. Ia meletakkan laptop yang ada di pangkuannya, lalu membuka selimut yang menutupi setengah tubuhnya.

El langsung memeluk orang itu erat. Orang yang sedang duduk tenang di bed king sizenya terkesiap dengan pelukan El yang tiba-tiba. Tapi, tak urung ia membalas pelukan El. Ia mengelus rambut El memberikan ketenangan, ia tahu El sedang gusar.

"Are you okay, dear?" tanya orang itu. El langsung melepas pelukannya.

"Kenapa Dady bebaskan dia dari penjara?" Tanya El dengan nada dinginnya. Ya, yang sedang El temui dan peluk adalah dadynya, Elbert.

Elbert tersenyum menatap El, "He's your brother."

"I don't fucking care, Dad! He nearly killed you!" tukas El.

Elbert mengelus kepala El, "Nop, dear. Dia tidak akan membunuhku."

El memalingkan wajahnya, ia mergetakkan giginya meredam amarah. "He doesn't want to kill you. But, want to kill me! Satu lagi, Dad. El gak akan pernah sudi punya saudara seperti dia."

Elbert menghelekan nafasnya, "Berikan dia kesempatan satu kali lagi, he just feell so jealous of you. Chill, dear. Dady sudah memberinya pemahaman, dady sudah menasehatinya."

Long Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang