26. Past Can't Define Me

2.4K 322 267
                                    

"Ibu! Aku ingin pergi ke sekolah Bu! Biarkan aku pergi!" seorang anak perempuan berteriak usai sang ibu menguncinya di dalam gudang.

"Bu, biarkan Seungyeon pergi. Dia tidak melakukan apapun" kali ini adalah suara sang kakak yang terdengar dari luar gudang.

"Diam! Kalian diam! Aku sudah memutuskan, kalau Seungyeon tidak akan lagi bisa bersekolah!" sang ibu ikut membentak setelah kedua anak perempuan berusia 7 dan 10 tahun itu memberontak.

Si gadis kecil, yang kini hanya bisa meratapi nasib dari dalam gudang penuh debu tak hentinya menangis. Suara tangisnya terdengar sampai di telinga kakak dan ibunya, terdengar pilu bagi sang kakak. Adiknya bahkan tidak melakukan suatu kesalahan, justru adik kecilnya itu telah sangat baik sekali membantu seseorang yang kesulitan. Namun rupanya hal itu dianggap berbeda bagi sang ibu, anak bungsu itu menurutnya tak henti membuat malu keluarga. Setelah prestasi akademik anak yang tak terlalu baik, kini anak yang baginya tak tahu diuntung malah membuat heboh satu sekolah dengan membantu seorang anak lain yang cacat.

Pergi meninggalkan tempat, sang ibu masih belum juga lunak hatinya mendengar tangisan deras Seungyeon si anak bungsu. Sementara si sulung, sekarang tengah menenangkan adiknya dari balik pintu.

"Seungyeon, sabar ya. Ketika ayah pulang nanti aku akan bilang kepada ayah untuk membukakan pintu" ujar si sulung.

"Aku takut Kak.. hiks.. hiks" balas adiknya yang ia tebak sekarang sedang bersandar di pintu, sama sepertinya.

"Aku disini. Seungyeon tidak boleh takut lagi. Kakak dari sini menjaga Seungyeon. Sudah ya jangan menangis, lebih baik kau cerita kepadaku siapa senior yang kau tolong itu? Mumpung tidak ada ibu" Seoyeon berkata dengan tenang, berharap sedikit banyak bisa mengurangi rasa takut adiknya akan tempat yang gelap.

Menetralkan deru nafas, kini Seungyeon kecil sedang berusaha bersuara untuk menceritakan kepada kakaknya. Memang disaat seperti ini, hanya Seoyeon yang mampu memahaminya. Berkali-kali mendapatkan perlakuan yang tak pantas, Seoyeon kasihan dengan adiknya yang masih terlalu kecil untuk menerima ketidakadilan.

"Jadi dia tidak cacat? Hanya kakinya belum sembuh?" Seoyeon bertanya setelah Seungyeon selesai bercerita.

"Iya Kak, aku tidak tahu kenapa jadi heboh di sekolah, padahal aku hanya membantu"

"Kau sudah melakukan hal yang benar. Aku bangga padamu. Kau ikut dirundung karena mereka membenci kecacatan, bukan membencimu. Kau bilang senior itu sudah akan naik SMP kan?"

"Ya, dia bilang begitu. Kak, kalau dia dirundung lagi bagaimana? Kakak itu sama sekali tidak salah, kenapa semua orang membencinya?"

"Kadang tidak perlu berbuat salah untuk dibenci. Seungyeon, kau juga harusnya pikirkan dirimu sendiri. Bisa-bisanya kau masih memikirkan kakak itu ketika kau sendiri mengalami perundungan"

"Aku masih mampu melawan, sedangkan kakak itu, dia tidak berdaya Kak. Berdiri saja tidak bisa"

"Dengarkan aku ya, kau harus utamakan dirimu di atas orang lain. Boleh saja kau peduli pada orang lain, tapi kau juga tidak boleh melupakan dirimu. Seungyeon, kalau saja ayah dan ibu punya pemikiran yang baik, tentu mereka bangga padamu. Tapi sayangnya berbeda, kau tahu kan orang tua kita seperti apa?"

"Aku tahu. Kak, kalau ibu tidak mengijinkanku sekolah lagi bagaimana ya? Aku tidak mau berhenti sekolah" lirih si gadis kecil.

"Biar nanti aku yang bilang pada ibu. Semoga saja dia bisa mendengarku ya"

"Kak, aku boleh minta tolong?"

"Ya, apa?"

"Saat di sekolah, bilang pada kakak itu kalau aku sudah tidak bisa menemaninya lagi. Aku takut dia mengira aku membencinya seperti yang lain"

The Senator | Jung Jaehyun ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang