❝Don't go, please!❞
★★★
"Evan." Tangan seorang laki-laki yang tengah mencincang anggota tubuh manusia berhenti bergerak ketika mendengar namanya dipanggil oleh suara baritone itu.
Evan berdecak kesal dan menoleh ke belakang melihat siapa yang telah berani mengganggu rutinitas malamnya itu. Walaupun minim cahaya, Evan masih bisa melihat bahwa Alastha-lah yang tengah berdiri di depan pintu sembari bersedekap dada.
Evan melempar pisau daging di tangannya pada Sang Korban dan berjalan ke arah Alastha dengan pakaian berlumuran darah.
Evan mengangkat sebelas alisnya pertanda menanyakan 'apa?'
"Bisa kita bicara sebentar?"
"Soal Amata?" Alastha lantas mengangguk dengan pertanyaan yang dilontarkan Evan tadi.
"Sorry, aku sibuk," ucap Evan dan berbalik menghadap pada mainannya yang telah tewas itu.
"Oh ternyata kau sudah tidak sayang pada Sachi ternyata," ucap Alastha dan segera berjalan pergi meninggalkan Evan.
Evan mengepalkan tangannya, selalu saja kekasihnya yang menjadi bahan Alastha untuk mengancamnya. Tunggu, ia lupa satu hal. Wajah Alastha tampak tak seperti biasanya tadi, mata tajam itu sekarang menatap sendu. Pasti Alastha sedang ada masalah dengan Amata.
Kalau sudah seperti ini, mau tak mau Evan harus bisa menjadi pendengar yang baik untuk Alastha. Bukan apa, Alastha akan jadi sangat buas dan melampiaskan kemarahannya pada orang tak bersalah. Sama seperti Evan, yang setiap malam ia bermetamorfosa menjadi iblis pembunuh hanya untuk memuaskan hasratnya.
••vote••
"Aku sudah mengungkapkan semuanya pada Amata, tapi dia malah diam dan menyuruhku pergi." Evan menghembuskan napas kasarnya. Sejak kapan Alastha menjadi bodoh dalam hal wanita?
"Dia nyuruhmu pergi atau atau mengusirmu untuk pergi" tanya Evan.
"Hmm sebenarnya ... dia mengusirku. Tapi Van, hatiku menjadi tidak tenang, bagaimana kalau nanti dia mendiamkanku? Atau mungkin menjauhiku?" tanya Alastha.
"Semuanya ada resiko Alastha. Itu resiko-mu karena sudah membuat permainan sialan itu dan malah kau yang jatuh dalam permainanmu itu," ucap Evan sembari menghisap asap rokoknya.
Malam ini, di ruang bawah tanah basecamp Allons, Alastha dan Evan sedang berbincang di tengah minimnya pencahayaan. Bau anyir darah menyeruak, tapi dua iblis itu sama sekali tak terganggu dengan bau cairan kental bewarna merah itu.
Dan topik perbincangan mereka masih tidak jauh dengan masalah Alastha dengan Amata. Nampaknya Alastha terlalu cepat mengungkapkan perasaannya pada Amata tanpa ada pembuktian sama sekali.
"Lalu aku harus bagaimana?" tanya Alastha sembari menatap bercak-bercak darah yang terdapat di lantai.
"Kau tak harus melakukan apa, lanjutkan saja perjuanganmu, kau sudah mengungkapkan perasaanmu padanya dan sekarang harus berhenti? Jangan jadi fuckboy! Amata belum memberi jawabannya, dia hanya diam."
"Berarti dia nerimaku?"
Evan menggedikkan bahunya. "Selagi belum ada jawaban dari Amata, semua kemungkinan bisa terjadi. Kau juga harus bersiap untuk semua kemungkinan itu, Vernand sudah tahu kalau kau menjalin hubungan dengan Amata, dia tidak akan tinggal diam," ucap Evan yang dibalas hembusan napas dari Alastha.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALASTHA
Teen Fiction"Aku sudah kalah, aku ... mulai mencintainya." Karena melupakan seseorang yang hampir tergenggam itu tak semudah membalikkan telapak tangan. -Alastha Crawford- Berawal. Di atas bumi, bersama Tuhan Sang Penentu Takdir. Berakhir. 7 November 2020, di...