3. LAY LOW

470 53 8
                                    

Setelah resmi menjadi pasangan, mereka sering bertemu diam-diam. Plan memilih jalan ini. Baginya hubungan adalah sebuah hal yang sifatnya pribadi dan tidak untuk diumbar. Mean mengikuti keinginan Plan. Ini aman tidak hanya untuk Plan, tetapi juga untuk dirinya.

"Maafkan aku. Kau tunggu lama," sahut Plan sambil bergegas masuk mobil yang disewa Mean.

"Tidak apa-apa," ujar Mean sambil mendekati Plan dan menciumnya di pipi. Plan tak menolaknya. Dia memasang sabuk pengaman dan mobil pergi menuju sebuah vila di balik bukit.

"Mean, kau sengaja menyewa vila ini?" tanya Plan saat mereka tiba di halaman sebuah rumah yang megah.

"Tidak. Ini salah satu aset keluargaku. Mereka jarang kemari karena sibuk. Dan sebagian memilih liburan ke luar negeri," sahut Mean sambil membuka pintu.

"Masuklah," sahut Mean sambil membuka pintu lebih lebar.

"Terima kasih," ujar Plan dan ia memasuki ruangan dan mengamati sekelilingnya. Ia terpesona akan kemegahan dan kekuatan bangunan itu. Seharusnya orang lebih sering meninggalinya supaya tak ada kesan sepi di dalamnya.

"Jangan khawatir. Staf selalu membersihkannya dua kali dalam seminggu. Pasti bersih," ujar Mean sambil mengalengkan tangannya pada pinggang Plan yang ramping.

"Ayo," sambungnya sambil menarik Plan ke halaman belakangnya. Mereka duduk di beranda dan menikmati pemandangan sebuah taman yang indah yang terhampar di depannya.

"Bagaimana menurutmu tentang taman ini? Ayahku yang merancangnya," sahut Mean, duduk di samping Plan dan menggenggam tangannya lembut.

"Taman? Kau gila! Bagiku ini seperti lapangan bola," sahut Plan sambil melirik ke arah Mean dan tersenyum. Mean terkekeh atas komentarnya.

"Ayahku bilang aku bisa bermain dengan anak-anakku kelak di sini. Tapi, aku berpikir lain saat itu," sahut Mean sambil menunduk dan tersenyum sendiri. Pikirannya seolah dipenuhi kenangan tentang dia dan ayahnya.

"Apa yang kau pikirkan?" tanya Plan sambil mengernyitkan alisnya. Ia melihat ke arah Mean sambil tersenyum.

"Bercinta dengan orang yang kucintai," sahut Mean lagi sambil memandang Plan penuh arti.

Ekspresi di wajah Plan sontak berubah. Ia menunduk malu dan tersenyum. Suasana di antara mereka menjadi canggung dan keheningan menyelimuti ruang di antara keduanya.

"Kau marah?" tanya Mean setelah lama mereka diam. Plan masih pada posisinya dan menggelengkan kepalanya.

"Lantas kenapa kau diam?" tanya Mean lagi.

"Karena aku bingung dan tak punya kata-kata yang ingin kusampaikan," sahut Plan pelan. Ia masih menundukkan kepalanya. Tangan mereka masih bertautan hangat.

"Plan, lihat aku!" sahut Mean lirih.

Plan menurut dan mendapati Mean tengah menatapnya lembut dan ia tersenyum hangat.

"Kau mencintaiku?" tanya Mean dan ia mengeratkan pegangannya pada tangan Plan.

"Kenapa kau masih bertanya. Kau bisa melihatnya dari sikapku, bukan?" Plan memastikan.

"Aku tahu. Aku hanya ingin memastikan. Uhm, jadi, bagaimana?" tanya Mean.

"Apa?" Plan menatap heran.

"Ideku tentang bercinta di sana," sahut Mean lagi sambil tersenyum menggoda kekasihnya.

"Kupikir kau orang yang mesum," komentar Plan.

"Benarkah?" tanya Mean sambil mendekatkan wajahnya ke wajah Plan.

"Uhm," lirih Plan dan ia memiringkan wajahnya sambil menutup matanya seolah tahu yang akan dilakukan Mean kepadanya.

ROMANCE COLLECTIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang