8. REMAINS

408 48 3
                                    

"Apa yang kau lakukan di sini?" Plan kaget. Saat ia membuka pintu rumahnya, Mean sudah berdiri di depannya.

Pada penghujung bulan Desember tepatnya tanggal 23 Desember Mean terbang ke Jepang untuk menemui kedua anaknya. Usia mereka 20 tahun sekarang. Dan ini saatnya Mean memberikan aset yang ia simpan untuk keduanya. Untuk tujuan inilah ia terbang ke Jepang.

Plan memanggil kedua anaknya. Ia meninggalkan mereka dengan Mean dan memilih berbelanja keperluan sehari-harinya.

Saat ia kembali, Mean dan kedua anaknya masih di sana mengobrol. Akhirnya, mereka makan siang bersama dan setelahnya pergi ke kuil bersama.

"Kapan kau pulang?" tanya Plan saat Mean masih di rumah mereka dan ini sudah pukul sepuluh malam.

"Mae, kami masih ingin bicara dengan Pho. Jangan usir dia, na! Pho akan bergabung dengan UNICEF PBB dan menjadi salah satu sukarelawan perwakilan Thailand. Waktunya hanya sebentar lagi dengan kami. Biarkan dia di sini dengan kami, na!" Kedua anak memohon.

Plan diam dan mengembuskan napasnya dan menatap mereka bergantian.

"Terserah kalian saja!" Plan memasuki kamarnya. Ia duduk sejenak di tepi ranjang dan kemudian merebahkan dirinya di kasur lalu memejamkam matanya.

Keesokan paginya, ia mendapati Mean tidur di sofa dan ia berjalan perlahan menuju dapur menyiapkan sarapan pagi dan kopi untuk semuanya.

Mereka sarapan pagi dan Perth serta Mark bercerita bahwa ia akan membawa ayahnya ke beberapa tempat di Jepang sebelum ia pulang dan mereka ingin Plan bergabung dengan mereka. Plan hanya mengiyakan. Itu permintaan anaknya.

Mereka pergi ke beberapa tempat terkenal di Jepang, khususnya yang ada di sekitar Tokyo. Shinjuku, Harajuku, Akihabara, Shibuya, Ueno, Roppongi, dan Ginza adalah beberapa tempat yang mereka datangi. Mereka makan siang di Ueno dan makan malam di Ginza. Lumayan mahal, tapi sebanding dengan kualitas makanannya yang enak.

Perth dan Mark berjalan-jalam di sepanjang jalan Ginza menikmati pemandangan malam natal di sekitarnya. Plan memilih duduk di salah satu kafe menikmatinya kopinya. Mean menghampirinya dan duduk di depannya.

"Kau tak jalan-jalan?" tanya Mean sambil memesan secangkir kopi.

"Setiap tahun aku dan anak-anak ke sini. Mungkin kau yang seharusnya pergi dengan mereka. Bukankah ini baru untukmu dan anak-anak?" Plan memandangnya dengan teduh. Ada rasa damai dalam suaranya.

"Aku ingin bicara denganmu," ujar Mean pendek. Ia menerima kopi dan berterima kasih.

"Bagaimana kehidupanmu?" tanya Mean sambil meniup-niup kopi di depannya.

"Tenang. Seperti biasanya. Atau bagimu, ini mungkin cenderung membosankan," sahut Plan lagi sambil mengarahkan pandangannya ke luar jendela.

"Uhm, aku bahagia untukmu," sahut Mean dan ia menyisip kopinya. Saat ia menyimpan kopinya, sebagian busanya tertinggal di atas bibir. Plan melihatnya dan ia tergelak.

Dengan cepat ia mengambil tisu dan memberikannya kepada Mean dan menunjuk bagian yang kotor pada mulutnya. Mean mengerti. Ia mengambil tisu dan mengelapnya. Mereka kembali hening.

"Pada akhirnya, yang tersisa dan selalu di sisiku selalu dirimu," sahut Mean sambil tersenyum. Pandangannya ia arahkan ke kopi tapi matanya menatap kosong.

"Kenapa aku meninggalkan dirimu dulu? Aku sungguh menyesal," ujar Mean dengan nada yang sedih.

"Itu karena kau bodoh," sahut Mean sambil mengembuskan napasnya.

"Aku ingin memperbaiki kesalahanku," ujar Mean lagi.

"Kau sudah melakukannya, bukan? Kau datang meminta maaf dan kemudian melanjutkan hidupmu. Itu hal yang baik. Jangan bebani dirimu lagi dengan masa lalu. Lanjutkan hidupmu dan berbahagialah dengan siapapun di sisimu," sahut Plan.

"Aku bahagia kalau kau mau memberikan kesempatan kepadaku," sahut Mean.

"Mean, kumohon jangan mulai lagi. Aku bahkan tak bisa membuka hatiku untuk orang lain gara-gara kau. Aku trauma dengan yang kau lakukan kepadaku," sahut Plan.

"Maafkan aku," sahut Mean dan ia kemudian diam.

"Kalau aku mati, kau akan datang ke pemakamanku, bukan?" Mean bertanya setelah cukup lama ia diam.

Plan hanya mengerling. Ekspresi di wajahnya seolah menyuarakan agar tak membicarakan hal yang tak menyenangkan.

Mereka memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar. Kumpulan orang semakin ramai seiring dengan waktu yang semakin malam. Mereka semua berkumpul di pusat kota, siap menyambut natal dengan kembang api yang meriah.

Banyaknya orang membuat Mean dan Plan agak sulit berjalan. Dengan cepat ia memegang tangan Plan dan ini membuat Plan kaget.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Plan sambil mencoba melepaskannya.

"Aku tak mau kau hilang. Orang semakin banyak dan aku tak punya nomormu," sahut Mean. Plan membiarkannya sebab ia pahan alasannya. Mereka menikmati kembang api dan pohon natal raksasa yang mulai menyala terang.

Plan tersenyum dalam kekaguman. Mean juga ikut tersenyum bukan karena pemandangan di depannya, melainkan karena wajah Pkan yang memukau di sampingnya. Perlahan ia mendekatkan wajahnya dan cup!

Satu ciuman mendarat di pipi Plan membuat Plan marah dan menampar pipi Mean. Ia melepaskan pegangan tangan Mean dan berjalan menjauhi kerumunan dengan wajah yang kesal.

"Plan tunggu! Maafkan aku!" Mean mengejarnya. Plan terus berlari dan ia hampir tertabrak truk yang mengangkut makanan kalau Mean tak menariknya ke dalam pelukannya.

Keduanya kaget dan tubuh mereka bergetar hebat, bukan hanya karena kaget dari kejadian baru saja, melainkan juga karena  sesuatu yang hangat kembali kepada mereka.

"Hei, kau tidak apa-apa?" Mean menatap wajah Plan cemas.

"Uhm," jawab Plan dengan tubuh yang masih gemetar. Mean memeluknya menenangkannya. Tiba-tiba Plan menangis keras. Ia membenamkan wajahnya di dada Mean dan menangis sangat lama.

"Pho, Mae kenapa?" Mark kaget saat mendapati ibunya tidur di pangkuan Mean dan terlihat sudah menangis.

Mean menyimpan jari telunjuk di bibirnya dan kedua anaknya menganggukkan kepalanya dan duduk di sebelahnya. Mereka sudah ada di rumah. Perth dan Mark duduk di depan mereka. Sampai pagi, mereka tidur bersama di sana.

"Mae, kau tak apa-apa?" Perth menatap Plan yang tangannya masih gemetar dan mereka tengah sarapan pagi. Mark terlihat sangat cemas.

"Uhm," ujar Plan.

Mean lalu menceritakan kejadiannya. Perth dan Mark sekarang mengerti yang terjadi.

"Mae, kalau begitu kami putuskan tak ikut kamp baseball tahun baru ini. Kami akan jaga Mae," ujar Mark lagi.

"Mai, kalian harus pergi. Aku menginginkan kalian pergi. Ini alan menentukan karir kalian. Mae tak apa-apa," ujar Plan meyakinkan.

Mean membaca seolah pernah terjadi sesuatu. Gemetaran yang terus seperti itu tak mungkin terjadi hanya karena trauma sekali. Pasti ada yang lebih parah pernah terjadi sebelumnya.

Plan pergi ke kamarnya. Ia ingin beristirahat. Saat itulah Mark dan Perth bercerita bahwa Plan pernah hampir ditabrak sebelumnya dan itu di Thailand dulu dan pelakunya adalah kekasih ayahnya yang sudah mati karena bunuh diri itu. Dan sejak kejadian itu, Plan selalu gemetaran saat melihat mobil yang terlalu kencang melintas di depannya atau jika suara klakson yang berbunyi tiada henti atau lampu sorot mobil yang terlalu terang.

Mean tersentak kaget. Ia tak pernah tahu itu. Sekarang ia paham kenapa Plan bersikukuh tak mau kembali kepadanya. Dan ia merasa menyesal.

Saat kejadian dulu, Plan ikut terapi selama tiga bulan dan ia mengurung diri karena traumanya itu. Mean sungguh menyesal mendengarnya. Ia berjanji kepada kedua anaknya akan menjaga ibunya dan mempercayakan ibunya kepadanya.

Perth dan Mark pergi ke acara kamp tahun baru baseball dan Mean diam-diam mengawasi Plan dalam kesehariannya. Ia memutuskan membatalkan project UNICEF PBB dan menyewa sebuah kamar di dekat rumah Plan.

Bersambung













ROMANCE COLLECTIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang