9. NEW PAGE

381 44 3
                                    

Seperti biasanya malam itu Plan berjalan pulang dari arah stasiun. Ia mampir sebentar di swalayan tepat di sebelah stasiun untuk membeli roti dan kemudian keluar dan berjalan  menyusuri jalan kecil menuju rumahnya.

Jarak dari stasiun menuju rumahnya ditempuh kira-kira 15 menit dan menanjak. Ia berjalan di pinggir dan sangat kaget saat mendengar bunyi klakson yang tiba-tiba dari sebuah mobil yang melaju kencang dari belakangnya.

Seluruh tubuhnya gemetar dan ia langsung berjongkok, menundukkan wajahnya sambil menutupi kedua telinganya dengan kedua tangannya dan ia menangis.

"Plan, hei," sahut Mean lembut sambil berjongkok di sampingnya. Plan menoleh dengan air mata masih mengalir di pipinya.

"Meaaaan," teriak Plan dan Mean ikut menangis dan ia memeluknya cukup lama sampai akhirnya ia tenang.

"Ayo pulang," sahut Mean sambil menrangkul bahu Plan dan Plan hanya menganggukkan kepalanya dan berjalan pulang.

"Aku sudah tahu yang terjadi. Aku minta maaf. Kenapa kau tak adukan dia ke polisi?" Mean memberikan air hangat kepada Plan dan mereka duduk berhadapan di dapur rumah Plan. Plan diam sejenak dan menatap Mean.

"Kau tak harus pedulikan aku. Aku menyakitimu dulu. Kau seharusnya membenciku dan lebih peduli kepada dirimu sendiri," ujar Mean lagi seolah ia bisa membaca jalan pikiran Plan, bahwa Plan tak mengadukan Kew ke polisi karena Mean.

"Kau ayah Perth dan Mark. Jika ada masalah denganmu, mereka juga akan sedih," sahut Plan lagi pendek.

"Sudahlah! Aku hanya perlu waktu untuk mengatasinya." Plan mengembuskan napasnya, mencoba menenangkan dirinya.

"Ada tempat untuk terapi yang cocok di sini. Aku sudah mencarinya dan bertanya-tanya juga. Bagaimana kalau kau mencobanya?" Mean menawarkan.

"Mean, bukankah seharusnya kau pergi ke acara PBB itu. Kenapa kau ada di sini san bahkan menawariku terapi segala?" Plan menatapnya.

Mean diam sejenak lalu ia menjelaskan semuanya dengan jujur. Plan hanya bisa menganga dan ia tak merespons apa-apa.

"Plan, coba ikut terapi ini, na! Aku akan menemanimu sampai kau sembuh. Sesudah itu, aku janji aku tak akan menunjukkan diriku lagi di depanmu, kecuali jika aku kesulitan bertemu dengan anak-anak," ujar Mean dengan nada memelas.

Plan minum air dalam gelas. Ia seolah tengah berpikir. Akhirnya, ia berdiri dan berjalan ke kamarnya.

"Akan kupikirkan," sahut Plan dan ia menutup pintu kamar. Mean tersenyum. Ia bahagia saat Plan mau mempertimbangkan sarannya.

Mean merapikan meja makan. Ia membawa gelas dan pisin dan kemudian mencucinya. Setelah itu, ia duduk di sofa dan merebah. Matanya menatap langit-langit ruang tengah dan sekejap telinganya mampu menangkap suara kereta api terakhir yang melintas tak jauh dari rumah Plan.

Air matanya mengalir saat ia mengingat kembali kenangan dirinya bersama dengan Plan. Bagaimana ia mengejar Plan dulu sungguh tak tahu malu padahal Plan sudah menolaknya lebih dari puluhan kali dan saat akhirnya Plan memilihnya dan kemudian mengorbankan karirnya supaya bisa menjadi pendamping yang bisa diandalkan untuk Mean, ia malah menyiakan dirinya.

Semuanya hanya karena ia bertemu lagi dengan pacar pertamanya jauh sebelum ia terkenal dan bahkan menjadi aktor. Dia terbujuk dengan sikapnya yang lembut dan dengan senyumnya yang kalau ia pikir lagi, si mantannya yang sudah meninggal itu memang NORMAL Saja.

Dia sekarang berpikir kenapa ia dulu menyukai dan ingin bersama dengan Si normal itu. Bagian bawahnya saja kalah enak dengan yang punya Plan. Kenapa? Mungkinkah karena air perasan celana dalam yang sering Zanook tuduhkan kepadanya. Kalau iya, dia harus bergidik membayangkannya saja membuat dirinya ingin muntah.

ROMANCE COLLECTIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang