part 33

8.3K 280 1
                                    

besoknya setelah pelajaran pertama beres, aku duduk di bangku depan gedung utama sambil mengerjakan pr. hari itu cuaca sedang mendung, jadi sekarang aku memakai ekstra jaket karena udaranya yg makin mendingin.

tapi tiba-tiba handphoneku bergetar di saku rok. ku lihat caller ID dan ternyata itu devon.

ku tekan tanda hijau yg ada di layar datar dan menempelkan handphonenya ke telingaku.

"hai dev---"

"datanglah ke gedung gym, sekarang"

-tut-tut-tut-tut-

aku terkejut ketika mendengar suara devon seperti tadi. terdengar bergetar? apa dia sedang menangis atau apa?

dari tadi aku terus menatap layar handphone yg sudah stand by. tapi aku langsung menggeleng dan menyimpan handphoneku ke dalam saku, lalu membereskan buku-buku yg sedang kupakai tadi dan kupeluk di dada sambil berjalan dengan tergesa-gesa ke gedung gym seperti yg di perintahkan devon tadi dari via telepon.

saat aku sedang berjalan, perasaan cemas terus menghujam perasaanku.

kenapa suaranya bergetar seperti tadi? apa yg terjadi dengannya? apa dia mengangis? tapi kenapa?

oke, sekarang aku harus tenang sampai bertemu dengannya di gedung, dan aku harap dia baik-baik saja.







aku berlari kecil karena perasaan cemasku makin menjadi. sebelumnya devon tidak pernah bicara sesingkat itu jika sedang menelponku. walaupun dia berniat menyuruhku untuk pergi ke tempat dia berada, pasti dia berbasa-basi ataupun mengucapkan 'aku mencintaimu' saat dia mau menutupnya. tapi ini tidak.

pasti ini benar-benar ada yg tidak beres.

ku buka pintu gedung gym dan memasuki ruangan. mataku langsung jelalatan mencari keberadaan devon.

kulihat devon sedang duduk di bleacher teratas sambil tertunduk. sikut tangannya menupu pada dengkulnya. kepalanya di benamkan pada celah tangan yg sedang dia tumpu.

masih dengan perasaan cemas, pelan-pelan aku menghampirinya. mungkin dia sadar akan kehadiranku, karena kepalanya langsung mendongak.

langkahku langsung terhenti ketika melihat wajahnya dengan jelas. mataku terbelalak dan tubuhku langsung bergetar ketakutan setelah mata birunya bertemu dengan mata cokelatku.

aku salah, dia tidak menangis. tapi wajahnya terlihat sangat merah menahan emosi. matanya menatapku dengan sorotan tajam seperti seorang pembunuh yg mau membalaskan dendamnya pada si korban.

rambutnya kusut seperti tidak pernah menyisir selama beberapa minggu.

lalu devon bangkit dari duduknya dan berjalan menuruni bleacher ke arahku. kakiku benar-benar kaku, tidak bisa di gerakan sedikitpun. mataku juga terus terpaku pada matanya yg entah kenapa terlihat lebih gelap dari biasanya.

setelah devon sudah ada di hadapanku, dia berhenti dan terus menatapku dengan tatapan pembunuh tadi.

ku telan air ludahku susah payah saat terus melihat matanya.

tidak pernah aku merasa takut seperti ini pada seseorang.

"kau ke-kenapa devon?" tanyaku gagap. dia terus menatapku.

"jangan pura-pura tolol. aku yakin kau tahu kenapa" ucapnya. tidak, dia bukan mengucap, tapi lebih tepatnya menggeram padaku.

"a-aku tidak me-mengerti maksudmu" bisikku dan ragu dia tidak akan mendengarnya. tapi karena jarak yg sedekat ini, mungkin dia bisa mendengarku.

Bullworth Academy (justin bieber Love story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang