Ariana POV
semilir angin pantai di pagi hari menerpa wajahku yang pucat. sudah dari semalam mataku tidak terpejam. aku sudah tidak bisa menangis lagi karena mungkin air mataku yang kemarin sudah habis (?)
pandanganku kosong ke depan dengan bayangan hitam di bawah mataku. rambutku juga kusut karena dari semalam, terus terhembus angin kencang. baju seragamku kotor tidak karuan. mungkin jika di lihat oleh orang, aku ini seperti hobo(¤) yang tak pernah tidur karena memikirkan hutang yang sedang menanti.
drrtttt drrtttt
terasa olehku, handphone yg ku taruh di dalam saku rokku bergetar. dengan gerakan lambat aku mengambilnya dan melihat siapa yang sedang menelponku. dakota.
ku sentuh layar hijau dan menempelkannya pada telingaku.
"hallo?" tanyaku seperti suara berbisik yang parau.
"ana? kau ada di mana? kenapa suaramu seperti itu?" tanya dakota tidak sabaran.
"aku ada di suatu tempat. aku hanya kurang minum saja. ada apa?" tanyaku ingin tahu kenapa dia menelponku.
lalu dakota menjelaskannya. tapi belum selesai bicara, aku langsung menutup telponya dan berlari ke tempat di mana dakota berada.
aku tidak peduli dengan orang dewasa yang melihatku kacau seperti ini. yang sekarang ku pentinkan adalah sampai di rumah sakit yang tadi dakota sebutkan.
-------
sesampainya di rumah sakit itu, aku langsung berlari ke tempat resepsionis dan menanyakan kamar devon di mana. setelah mengetahuinya, aku langsung berlari menuju tangga darurat dan naik ke lantai 4 dimana devon berada.
tadi saat dakota menelpon, dia mengabarkan kalau devon mengalami kecelakaan pada saat latihan football kemarin malam. dan untungnya avan yang memang sedang duduk di bleacher melihat kejadiannya, dan tumbangnya devon sambil memegang kakinya kesakitan. langsung saja avan membopong devon ke ruang uks, dan setelah itu membawanya ke rumah sakit kota dengan petugas uks karena lukanya cukup mengkhawatirkan.
tadi juga dakota menceritakan avan melihat pria berseragam football lengkap dengan helm yg tertutup, sengaja mematahkan kaki devon dari arah belakang. dan lebih parahnya, setelah devon tumbang, pria itu menghantam kaki devon dengan kaki si pria dan memukul lututnya seperti menggunakan linggis tebal. sayangnya saat avan mau mengejar pria itu, dia sudah tertinggal jauh berlari ke arah gedung observasi yg sudah lama tidak di pakai.
sesampainya aku di lantai 4, aku melihat dakota, selly, avan, dan justin sedang duduk di depan ruang inap. ku dekati mereka sambil berlari dengan wajah khawatirku.
"bagaimana keadaannya sekarang?!" tanyaku tidak sabaran dan melihat seorang pria yg sedang berbarin tenang di kasur rumah sakit, melewati kaca kecil yg terdapat pada pintunya.
air mataku merebak ketika melihat kakinya di gips dan di gantungkan. "devon" ucapku lirih sambil menutup mulutku menahan jeritan tangisku.
ku buka pintu ruangannya perlahan dan berjalan mendekati tubuh devon yang sedang tidur tenang di atas kasur. air mataku makin merebak ketika melihat kakinya yang terbalut kain putih itu.
ku duduki kursi hijau yang berada di samping tempat tidur. ku usap pipinya dengan lembut lalu mengecup bibirnya perlahan dan kembali duduk di kursi memperhatikan wajah tenangnya yang sedang tidur.
sepertinya, aku sangat menyesal telah membentak dan menamparnya kemarin. seakan ini semua salahku. jika aku bicara baik-baik padanya, kemungkinan besar masalah kami selesai kemarin, dan orang-orang pun tidak akan tahu tentangku, lalu dia pun tidak akan datang ke lapangan football dimana kecelakaan itu terjadi. benar apa kata pepatah.
penyesalan itu pasti datang di akhir.
tiba-tiba ada satu tangan menyentuh bahuku dengan lembut, dan setelah ku lihat siapa ternyata itu selly.
"bisa keluar sebentar? avan mau menjelaskan kejadian kemarin" ucapnya pelan sambil tersenyum tipis padaku.
tanpa menjawab, aku langsung berdiri dan berjalan keluar kamar devon dengan selly.
avan, justin dan dakota berdiri setelah melihatku keluar. eh tunggu, sebenarnya apa yang di lakukan justin di sini?
"bisakah kau ceritakan bagaimana kejadiannya avan?" tanyaku. tapi mataku terpaku terus pada wajah justin yang terlihat khawatir.
"kemarin, aku melihat devon di serang oleh pemain football. aku tahu karena dia juga memakai pakaian lengkap football. aku tidak tahu tepatnya siapa yang membuatnya tumbang, tapi aku hanya mengingat nomor punggung tersangka" jelas avan pelan-pelan.
"berapa nomor punggungnya?" tanyaku antusias ingin mengetahui siapa yg telah berbuat seperti itu, karena jika aku sudah mengetahuinya tidak akan segan-segan untuk menyakitinya.
"nomor punggunya, 6" jawab avan sambil melihat justin dengan tajam.
oh! jadi adanya dia karena dia yang telah membuat devon masuk rumah sakit?!
setelah mendengar penjelasan avan, aku menghampiri justin dan melayangkan kepalan tanganku ke wajahnya.
BUGH!!
dalam sekejap justin langsung tumbang dan saat aku mau memukulnya lagi, dengan sigap avan menahan kedua tanganku ke belakang untuk menghentikanku.
"avan! lepaskan aku! biar aku habisi pria yang telah menyakiti devon kemarin malam!" teriakku terus memberontak, tapi avan langsung memelukku dengan erat dari belakang.
"jadi kau menuduhku?" bisik justin sambil menyipitkan matanya dan memegang pipi yang tadi kupukul.
"MEMANG KAU ORANGNYA JUSTIN! SIAPA LAGI JIKA BUKAN KAU YANG BERNOMOR PUNGGUNGKAN 6!! KAU BIADAB !! KEJI !! KU LAPORKAN KAU KE POLISI ! AKU MEMBENCIMU JUSTIN !" teriakku dengan kencangnya saat avan menyeretku menjauhi justin, dan pergi entah kemana. seluruh mata yang ada di lorong ini terpaku padaku yang terus berteriak, memberontak di pelukan avan. tapi dengan sabarnya, avan terus mencegahku mendekati justin.
avan menyeretku ke dalam lift dan di dalam dia langsung menampar wajahku.
"sadarlah, jangan berbuat seperti tadi. kau harus sadar kalau ini rumah sakit" ucapnya datar sambil menatapku.
aku yang memang dari tadi sudah menangis, hanya bisa sesegukan dan memegan pipi yang baru saja di tampar olehnya.
"tapi dia telah membuat devon terluka" ucapku lirih.
"aku tahu, tapi jangan seperti itu juga. kau harus melihat situasi dulu. jangan langsung mengambil keputusan seperti tadi. seperti anak SD saja. bagaimana kalau tadi kau yg di tangkap karena memukul hah?" balasnya masih dengan nada marah.
author POV
sementara avan membawa ana ke lantai teratas rumah sakit, justin, selly dan dakota menetap di lantai 4.
"aku tahu kau menyukai ana, tapi jangan pakai cara kotor seperti ini!" bisik dakota pada justin yang masih terduduk di lantai.
justin tidak membalas perkataan dakota, tetapi justin terus diam dengan posisinya yang sedang memegang pipinya yang baru saja di hantam tangan kecil ana.
ini bukan salahku, aku di fitnah. pikir justin.
pelan-pelan justin berdiri dan menatap dakota dengan selly secara bergantian.
"terserah kalian mau bicara apa tentangku, yang pasti aku bukan pelakunya. ya, aku memang menyukai ana, dan karena itu aku tidak mungkin melakukannya. lihat saja, aku akan mendapatkan pelaku yang sebenarnya" ucap justin terdengar percaya diri.
tanpa basa-basi lagi, justin melenggang pergi meninggalkan selly dan dakota yang sedang berdiri mematung di depan ruangan devon.
"walaupun dia orang yang kejam, tapi jika di lihat dari dekat, tampan juga ya?" ucap dakota masih menatap kepergian justin yang sudah tak terlihat.
"mmhmm" gumam selly, menjawabnya sambil mengangguk.
-------
KAMU SEDANG MEMBACA
Bullworth Academy (justin bieber Love story)
FanfictionSayang juga kalau mangkir di draft mulu. Cerita ini sama sekali gak aku edit. Asli banget dari taun 2011. Bahkan masih ada emotnya. Jaman-jamannya buat JD di Facebook. Kalau yang mau ber-cringy cringy ria monggo di tengok. Dan yep, ini cerita tenta...