Bab 40 : HOEKS

13.7K 1.2K 158
                                    

Mohon maaf sebesar-besarnya, harusnya Sabtu kemarin update tapi karena saya lagi ada kegiatan, dengan tidak sengaja saya lupa bahwa kemarin tuh hari Sabtu. Maaf, ya. Jika kalian masih betah mantengin cerita ini, jangan lupa komennya :p, harusnya gak boleh sih maksa, tapi entah kenapa saya suka semangat kalo cerita saya banyak komennya :v

Btw, pesan dm kalian atau komen kalian kalo gak dibales chat ulang aja. Saya jarang buka wattpad jadi ya maaf kalo gak dibales. Kalo kebetulan lagi buka dan baca pasti saya balas.

#Panji

"Ji mending lo pulang aja kalo emang gak enak badan. Jangan dipaksain," kata Fandi.

Aku termenung. "Kerjaanku gak bener ya? Apa ada yang salah, Fan?"

"Nggak maksudku, muka kamu pucet tuh. Kalo emang lagi sakit izin aja, aku bantu ngomongnya ke Pak Elang mumpung sekarang lagi ada di sini Pak Elangnya."

Ingin rasanya aku izin, istirahat barang sejenak. Tapi diistirahatkan pun rasanya percuma karena yang kubutuhkan sekarang adalah obat. Sudah dua hari aku kena demam. Penyebabnya jelas : aku kurang makan. Ya iyalah! Aku makan sehari sekali, itu pun makan di tempat kerja. Jadi sudah pasti aku drop sakit.

Biasanya tiap jam makan tiba aku jadi orang pertama yang paling semangat menantikan makan, tapi sekarang, karena kondisiku sedang pusing dan mual-mual, rasa makanan yang biasanya luar biasanya nikmat terasa hambar. Jadi kuputuskan karena makan siangku gak habis, diam-diam aku mengambil plastik kemudian kumasukkan makan siangku ke dalamnya supaya bisa kumakan nanti malam. Ini strategi baruku supaya bisa makan dua kali sehari.

Setidaknya, ada pengganjal meski sedikit. Intinya biar aku bisa tidur. Ternyata kalo aku belum makan dan memaksakan tidur hasilnya gak bagus. Semalaman aku bakalan terjaga. Kayak kemarin. Aku sama sekali gak tidur karena nahan lapar. Udah kucoba minum air keran, hasilnya nihil. Perutku tetap meronta-ronta minta dikasih makan.

Argh sial.

Tiap sakit bawaannya aku selalu sedih dan melodrama. Gimana, ya. Bukan karena aku cengeng atau merasa gimana-gimana. Aku hanya merasa jika orang lain sakit ada orang tua yang senantia menjaga dan memberi obat supaya anaknya sembuh dah bisa beraktivitas seperti sedia kala. Bahkan, jika si anak itu meninggal pun, ada seseorang yang akan histeris menangisi dan merasa kehilangan.

Lah aku? Jika aku sakit siapa yang akan menjagaku? Memberiku obat? Yang bisa kulakukan hanya berjuang sendiri. Itu gak masalah buatku, artinya aku bisa lebih dulu mandiri dari orang lain yang seusia bahkan di atas usiaku. Lalu bagaimana jika aku mati? Gimana nasib jenazahku? Pikiran itu datang begitu saja tanpa bisa kukontrol. Makanya aku benci saat-saat di mana aku sakit. Karena aku akan terlihat begitu lemah, sangat lemah.

"Fan, di sini ada obat pusing dan mual-mual gak ya?"

Kerjaanku sekarang jadi waiters. Dari pagi tadi berdiri di samping kasir. Kadang duduk sih karena di samping kasir ada kursi.

"Bentar gue cari dulu, biasanya ada obat kok di sini. Hmmm adanya obat merah sama ... eh ini ada. Gue kalo pusing sama mual-mual suka minum ini, Ji," kata Fandi lalu menyodoriku obat warung yang biasanya emang suka aku minum.

Mataku berbinar-binar. Haha untung nanya. Terima kasih Tuhan. Mungkin karena aku anak baik kali, ya. Urusanku jadi dimudahkan. Berbicara mengenai anak baik, kalo aku homo, emang bisa disebut baik? PD sekali aku sampe melabeli diri sendiri dengan sebutan baik. Ngimpi! Yang baik itu Mas Bayu. Dia udah mau menerima aku tinggal di rumahnya meski sementara. Sudah membuatkanku kamar, membelikanku komputer, pakaian, makanan dan lain-lain. Kurang baik apa coba Mas Bayu.

Guru Seksi [MxM] [Re-make]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang