Bab 44 : Nasi Kuning dan Tong Sampah

14.7K 1.3K 161
                                    

Hi. Semangat ya bagi kalian yang sedang berjuang atau yang sudah memetik hasil dari jerih payah kalian. Bagi saya, tulisan ini adalah hiburan untuk diri saya sendiri di tengah peliknya masalah-masalah hidup yang sedang saya jalani. Berharap, hiburan diri ini bisa menghibur kalian juga ya.

Jika hidup kalian berat, sukar untuk dijalani, pedih tak terperi, sesak melesak kuat, semoga kalian bisa melaluinya. Tenang ... kalian gak sendiri. Ikut berjuanglah bersama Panji :) Dia ... dia juga sedang berjuang. Untuk hidupnya dan keinginannya di tengah tentangan pun dogma masyarakat soal perasaannya yang banyak orang bilang salah.

Selamat membaca, semoga kalian suka.

#Panji

Habis salat subuh aku didatangi Kang Malik dan juga Ayahnya. Artinya laki-laki bertampang ramah ini adalah DKM di kampung ini. Langsung kusalami tangannya takzim.

“Ananda Panji, ya?”

Aku mengangguk. “Betul, Pak. Saya Panji.”

“Malik sudah menjelaskan semuanya sama saya. Jadi begini, Ji. Jika memang kamu butuh tempat tinggal sementara untuk beberapa minggu, mending kamu tinggal di rumah Bapak gimana? Rumahnya kecil tidak terlalu besar memang, tapi daripada tidur di masjid, kan?” kata Pak DKM sambil menepuk bahuku. Ingin sekali aku terima tawarannya tapi aku takut tidak bisa membalas budi makanya mending kutolak saja.

Tujuan aku pergi dari panti untuk mandiri. Tujuan aku pergi dari rumah Om Fadli untuk belajar hidup sendiri, tidak bergantung pada orang lain. Jika sekarang aku menerima kebaikan Pak DKM dan Kang Malik, sama aja atuh bernaung dan berlindung di belakang punggung orang?

Aku yakin, teramat yakin aku bisa mandiri. Setelah mendapat gaji aku akan sewa kosan, sisanya buat makan keseharianku dan setelah asupan makan serta tempat tinggalku terpenuhi, aku akan bersemangat kerja.

“Maaf bukan bermaksud gak sopan mau menolak, tapi saya memang gak mau terlalu merepotkan Bapak sama Kang Malik. Diizinkan tidur di masjid saja sudah anugrah buat saya, Pak. Toh, kalo saya tinggal sementara di sini, akan memudahkan saya buat sedikit melakukan amal seperti membersihkan masjid,” sahutku yakin sembari menunduk penuh hormat.

“Yakin kamu, Ji?”

“Yakin, Kang. Saya bukan orang jahat, Kang. Jika kotak amal di masjid ini hilang, silakan Kang Malik cari saya ke alamat ini. Sebentar, Kang,” kataku sambil beranjak pergi menuju tasku. Kuambil brosur tentang tempat kerjaku kemudian kukasih pada Kang Malik. “Nanti dicoba ditelepon saja benar tidak saya kerja di sana. Beneran, saya gak ada niat jahat datang ke kampung ini. Murni untuk cari tempat tinggal sementara.”

“Saya percaya, Ji kamu bukan orang jahat. Tenang saja, Bapak juga gak nyangka kamu akan mencuri kotak amal. Bapak cuma menawarkan, sama seperti kamu, ingin berbuat amal terhadap orang yang membutuhkan. Jika memang kamu butuh tempat tinggal sementara, bisa tinggal di tempat kami. Tapi teu sawios, Ji. Jika memang Panji ingin tinggal di masjid dan berbuat amal dengan cara membersihkan masjid, silakan. Gak akan ada orang yang melarang,” timpal Kang Malik.

“Terima kasih banyak, Kang. Sebelumnya terima kasih buat tawarannya.”

“Mari sini, Ji,” kata Kang Malik.
Kuikuti dia dari belakang. “Jika ingin bersih-bersih sapu, lap, sabun lantainya ada di sini,” kata dia sembari menunjuk gudang di samping tempat pengambilan wudu.

“Baik, Kang.”

Pak DKM dan Kang Malik pun pergi. Aku gak boleh malas-malasan! Karena jarakku dari masjid ini ke tempat kerja cukup jauh, aku harus pagi-pagi sekali berangkatnya. Tapi sebelum itu, kuambil sapu lidi di gudang, kubersihkan karpet masjid, kupel lantai bagian luar, kalo buat toilet mungkin kubersihkan nanti setelah pulang. Sip. Sudah selesai.

Guru Seksi [MxM] [Re-make]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang