4.9

622 185 19
                                    

Aku terbangun dan mendapati diri sudah terbaring lemah dengan berbagai alat medis menancap di tubuhku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku terbangun dan mendapati diri sudah terbaring lemah dengan berbagai alat medis menancap di tubuhku. Lantas susah payah menyentuh perutku untuk memastikan bahwa anakku masih ada namun tak kutemukan lagi.

Kenapa? Dimana anakku?

"Bella..." Wonjin datang dan berjalan mendekat dengan tubuh terbalut pakain serba hijau yang membuatku tahu bahwa kini aku berada di ruang ICU. "Akhirnya sayang, kau sadar juga." Katanya serta merta membawa satu tanganku dan mengecupinya beberapa saat.

Ingin sekali aku berbicara menanyakan keberadaan anak kita namun rasanya sulit sekali karna alat medis yang ada dalam mulutku serta kanula nasal di hidungku.

"Anak kita selamat sayang, Jaeden sudah lahir."

Ah syukurlah. Jadi anak kita laki-laki ya. Pasti tampan sekali mirip dengan Wonjin.

"Cepatlah sembuh sayang, kita lihat anak kita ya. Jaeden juga pasti ingin segera menyusui hehe..." Katanya sambil terkekeh namun air mata berkelindan memenuhi wajahnya yang terlihat pucat dan semakin tirus dari terakhir kali kulihat.

Wonjin, tolong jangan menangis...

Aku susah payah mengulurkan tanganku untuk menghapus air matanya yang malah semakin tergugu. "Maaf, maafkan suamimu yang tak berguna ini. Aku hanya bisa menyakitimu tanpa bisa melindungimu."

Tidak. Ini bukan salahmu Wonjin. Aku memang pantas mendapati hukuman dari Mama.

Aku pantas ditusuk berulang kali untuk menebus kesalahanku yang telah menghancurkan nama baik dan reputasi Mama.

Semua rasa sakit ditubuhku ini mungkin tak sebanding dengan rasa sakit yang Mama rasakan ketika membesarkanku yang adalah anak dari selingkuhan suaminya.

Mungkin ini hukuman yang harus aku tanggung dari kesalahan yang telah ibu kandungku lakukan terhadap Mama.

Mama maaf, kalau saja aku tahu lebih awal mungkin aku akan cepat pergi dari kehidupan Mama.

Ingin sekali bertemu dengan Mama dan meminta maaf dengan benar tapi apa masih bisa? Rasanya untuk bernafaspun kian sulit sekali.

Tuhan, apakah ini waktunya aku pergi?

"Jangan pergi, jangan tinggalkan aku..." Wonjin terisak keras membuatku berat sekali untuk menutup mata dan mengakhiri segalanya.

"Jaeden... ingat Jaeden sayang."

"Kau harus bertahan yeobo, jangan pergi. Jangan tinggalkan aku. Ingat Jaeden sangat membutuhkanmu. Ia butuh seorang ibu mendampinginya." Wonjin mengiba sesaat nafasku kian memendek karna rasa sakit yang tidak bisa kutanggung lagi.

Tuhan, apa kau dengar? Aku tak bisa pergi sekarang. Aku ingin bersama suami dan anakku.

Tapi apa pernah hidupku sesuai dengan apa yang kuinginkan?

Aku lantas susah payah memanggil nama Wonjin yang semakin terisak dan menggengam erat tanganku, "Mi-mianhae..."

Wonjin tergugu sambil menggeleng keras, "Jangan katakan perpisahan! Kau harus bertahan Bella. Aku tak sanggup hidup tanpamu... mengertilah hiksss kumohon bertahanlah..."

Aku juga ingin begitu Wonjin. Tapi Tuhan sepertinya ingin aku pergi sekarang. "Ja-jaga Jaeden--"

"Tidak!! Aku tidak bisa!!" Teriaknya memotong perkataanku lantas berbalik akan pergi kalau aku tak segera menggenggam tangan besinya yang terasa dingin dalam genggamanku.

Wonjin masih berdiri tanpa mau menatapku, "Ini adil bagiku tapi tidak adil untukmu Bella. Kau belum bahagia. Aku belum membuatmu bahagia..."

Tidak sayang, kau salah. Aku sudah bahagia selama ini karnamu, Wonjin.

Aku ingin mengatakan semua itu tapi tak bisa. Tak mampu. Mulutku susah sekali untuk bisa bicara dan hanya menangis tergugu membuat Wonjin akhirnya mau menatapku.

Ia semakin terisak keras lantas memelukku dengan penuh kasih sayang, "Jangan pergi hiksss kumohon tetaplah bersamaku Bella..." Wonjin berbisik parau membuat hatiku semakin mengepal sakit.

Aku juga Wonjin, aku ingin bersamamu.

Tapi rasa sakit di setiap inchi tubuhku semakin sakit dan sulit sekali untukku menahannya lebih lama. Semuanya juga kian meredup dan aku merasa mengamang, "Pergilah. Tak apa. Sekarang aku tak apa asal kau tidak merasakan sakit lagi istriku sayang..." Bisik Wonjin dan bisa kurasakan bibir tebalnya mengecup keningku lama.

"Saranghae..." Air mataku jatuh lagi dan susah payah melihatnya dengan lebih jelas untuk mungkin terakhir kalinya.

"Na-nado saranghae..." Balasku susah payah sambil mengulurkan satu tanganku untuk mengusap sisi wajahnya. "Menjadi istrimu adalah kebahagiaan dalam hidupku, Ham Wonjin." []

" []

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
RECOVERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang