2.7

759 187 18
                                    

Akan ada satu waktu dimana untuk tersenyumpun rasanya sulit sekali

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Akan ada satu waktu dimana untuk tersenyumpun rasanya sulit sekali. Mungkin satu waktu itu sedang Wonjin alami sekarang.

Ia terlihat murung dan hanya bergelung dikasur seharian ini. Aku bahkan harus dengan ekstra kuat menyeretnya keluar dari kamar dengan dalih takut sendirian di taman belakang.

Aku sedang berkutat mencoba merangkai bunga mawar menjadi mahkota untuk kukenakan pada Wonjin yang kini hanya duduk disampingku dan sibuk dalam lamunannya.

Ia seperti tubuh tanpa ruh. Begitu kosong tanpa binar kehidupan. "Wonjin..."

"Mbull..."

"Gembul Wonjin..."

"Suamiku Ham Wonjin..."

"Hm? Kenapa?" Wonjin menyahut dan mengulas senyum kecil yang membuatku menghela nafas lega.

"Kupikir kau kesurupan tadi." Candaku yang membuatnya menjawil ujung hidungku pelan, "Jangan bicara sompral. Kalau kejadian nanti kau sendiri kan yang repot."

"Iya iya..." Kataku dan segera memakaikan mahkota bunga mawar yang kubuat di puncak kepala Wonjin, "Apa-apan sih Bell." Ia protes dan akan menurunkan mahkota itu di puncak kepalanya yang langsung kucegah.

"Jangan dong itu kubuat susah payah sedari tadi untukmu Wonjinie."

"Tapi aku seperti banci tahu."

"Tidak. Kau manis Wonjin." Kataku sambil beraegyo yang membuat Wonjin menghela nafas berat dan akhirnya membiarkan mahkota itu tetap berada di puncak kepalanya.

"Tunggu. Tunggu sebentar." Aku segera berlari ke dalam untuk mengambil ponselku di dalam karna ingin mengabdikan Wonjin dan mahkota mawar itu kedalam potret sebagai kenang-kenangan.

Setelah mengambil ponsel aku segera berlari kembali ke halaman belakang namun langkahku perlahan melambat saat melihat punggung Wonjin bergetar menandakan ia tengah menangis kembali.

Aku sebisa mungkin tidak menimbulkan suara dan terduduk dibalik rimbunan bunga mawar di dekatnya sehingga aku bisa mendengar isak tangis lirihnya yang menyesakkan.

"Aku lelah berpura-pura semua baik-baik saja Hana-ah."

Hana?

"Aku tidak bisa lagi membohongi diriku. Kupikir ini sudah batasku Hana. Aku ingin kembali seperti dulu, bermain piano dan bersamamu."

"Aku juga lelah berpura-pura sok baik pada gadis jalang itu. Aku benar-benar membecinya, kau tahu setiap hari rasanya sangat menyiksaku ketika bersamanya, seseorang yang teramat sangat kubenci."

"Bahkan untuk beberapa malam aku sempat berpikir ingin membunuhnya saja Hana. Aku ingin ia mati. Ia tidak layak hidup setelah merenggut semua kebahagianku."

Aku membekap mulutku untuk meredam semua isak tangisku. Tidak menyangka bahwa Wonjin selama ini sangat membenciku. Membohongiku. Dan ingin aku mati.

"Itu rencana bagus Hana."

Apa yang Wonjin rencanakan dengan Hana? Jantungku bertalu cepat ketika mendengar suara gerakkannya yang bangkit dari duduknya. "Mata harus dibalas dengan mata bukan?"

Sekon berikutnya Wonjin tertawa terbahak-bahak, "Aku jadi tak sabar menunggu waktu itu tiba Hana."

"Ne araseo, aku akan menjadi Wonjin si baik hati lagi untuk mengelabui gadis jalang itu."

Aku lantas berjalan mengendap-ngendap tanpa menimbulkan suara untuk segera masuk ke dalam villa yang atsmosfernya menjadi berbeda setelah mengetahui kebenarannya.

Rasanya lebih dingin dan menakutkan. Aku segera berlari ke kamar agar Wonjin tidak curiga bahwa aku sempat mencuri dengar percakapan teleponnya bersama Hana tadi.

"Sayang kenapa lama sekali?" Wonjin berjalan mendekat padaku yang sedang sok sibuk seperti mencari sesuatu, "Aku lupa menyimpan ponselku dimana Wonjin." Jelasku berdusta.

"Coba aku misscall ya Bell..." Ia beranjak mengambil ponselnya yang ada di meja nakas membuatku yakin sekali ponsel yang ia gunakan untuk menghubungi Hana berbeda.

"Tidak perlu. Aku sudah menemukannya ternyata terselip di kepala ranjang." Kataku cepat sambil memperlihatkan ponselku padanya yang berdiri tak jauh dariku.

Ia berjalan mendekat dan mengusak suraiku lembut dengan tangan besinya membuat hatiku semakin remuk redam karna tahu bahwa semua ini hanya sandiwaranya.

"Wonjin..."

"Kenapa hm?"

Aku menatap iris hazelnya yang tak pernah membuatku bosan namun kini menciptakan gelenyar nyeri dalam rongga dada, "Saranghae... jeongmal saranghae Wonjin-ah."

"Nado saranghae Bella-ah." Balasnya sambil membubuhkan ciuman dikeningku membuat air mata yang sedari tadi kutahan jatuh dari pelupuk mataku.

"Tidak perlu menunggu usia kita legal Wonjin-ah, ayo kita lakukan itu sekarang."

Dengan begitu kita impas, Ham Wonjin.

Dengan begitu kita impas, Ham Wonjin

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
RECOVERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang