Kalian ini dari kota mana aja si?
Ada yang dari Klaten? Kalau ada, kita satu kota 😎
*****
Aku menarik tangan Mas Hardi, menyuruh Lisa agar secepatnya masuk ke dalam rumah. Aku menarik Mas Hardi keluar rumah lalu menghempaskan tangannya.
"Bisa gak berhenti bentak-bentak Lisa?!" tanyaku marah. Masih teringat jelas beberapa menit yang lalu kemarahan Mas Hardi sampai membentak Lisa dan anak itu menangis. Alasannya, Lisa tidak menuruti ucapannya segera pulang ke rumah.
Lisa tidak nakal. Ia anak yang sangat penurut, bahkan tidak banyak bicara. Saat bersamaku di mall Lisa tidak pernah melepaskan gandengan tangannya padaku. Tak seperti Anna atau Elsa yang cenderung aktif.
"Harusnya Mas Hardi bersyukur dapat anak macam Lisa. Dia gak pernah ngelawan, gak rewel dan selalu nurutin kemauan Mas Hardi!" napasku naik turun.
"Tapi tadi dia tidak menuruti ucapan saya!"
"Itu hal wajar! Dia perlu tau dunia luar! Kalau gak bisa jadi orang tua yang baik untuk Lisa. Lebih baik gue yang ngurus Lisa!"
"Kamu tidak sadar posisi? Kamu hanya guru Lisa. Tidak lebih."
Aku tertawa sumbang. "Mas coba tanya sekali-kali. Dia lebih sayang Ayahnya atau Bu Gurunya. Pernah dia bilang ke Mas Hardi 'aku sayang Papa'?"
Respon Mas Hardi seperti aku menampar dirinya menggunakan kata-kata. Ekspresinya menunjukkan kalau Lisa tidak pernah berkata hal itu padanya.
"Lisa sering mengucapkan dia sangat sayang Bu Gurunya. Apa itu bisa menunjukkan posisi yang mana orang tua bagi Lisa?"
Mas Hardi berubah kembali datar. Pergerakannya tidak bisa terbaca olehku, aku tak tahu apa yang ia pikirkan.
"Baiklah." akhirnya dia mau bersuara.
"Bagus deh kalau lo mau berubah demi Lisa. Dia butuh orang tua yang bisa ngertiin pera—"
"Saya akan melamar kamu."
"Ya?!" kok begini tanggapan dia. Siapa tadi yang mau dilamar dia?!
"Saya akan membawa Mama ke depan orang tua kamu." ucapnya tanpa dosa lalu melenggang pergi dari hadapanku.
"Mas kok gitu?! Heh Mas! Mas Hardi!!!"
*****
Sialan! Sialan! Sialan!
Mas Hardi gila. Aku berjalan mondar-mandir di kamarku. Mengigit jari tanganku kalut. Aku sudah menghubunginya dari satu jam yang lalu.
Aku mencoba menghubungi Mas Hardi lagi. Semoga kali ini dia menerima panggilanku. Saat panggilanku diangkat oleh Mas Hardi. Aku berteriak.
"MAS!"
"Ada apa? Ini sudah jam 9 dan kamu menganggu saya di jam istirahat."
"Omongan Mas yang mau ngelamar itu palsu kan? Jawab-jawab."
"Itu benar, Laras. Saya tidak membual."
"Kita sama sekali belum ngomongin masalah ini!" pekikku.
"Kamu sudah mengantuk?"
"Belum."
"Saya jemput."
Sambungan terputus. Aku mengerang kesal, melihat penampilanku melalui cermin. Baju tidur, sandal rumahan berbentuk panda—pemberian Kak Aurel. Peduli amat, aku menunggu dia di depan rumahku sambil memainkan ponsel.
KAMU SEDANG MEMBACA
D U D A [END]
Romance[Sebelum membaca follow akun ini dulu] Margaretha Larasati. Dia bukan tipe gadis yang sangat rajin. Bukan gadis yang pintar memasak seperti kedua sahabatnya. Namun Laras adalah gadis yang paling santuy. Laras tidak suka kehidupannya diurusi oleh...