d u a p u l u h t u j u h 🌻

71.3K 5.8K 324
                                    

Guys, aku udah buat grup chat. Yang mau join silahkan. Salinan linknya ada di profilku. Tinggal pencet azaaaa 😂

*****

Hardi's POV

Aku mengintip dari balik jendela kamar. Mobil Lira meninggalkan halaman rumahku. Aku menghembuskan napas berat. Laras hanya menonton pertandingan basket. Di sana pasti juga ramai, tidak mungkin Laras menjadi pusat perhatian.

Mengingat di sana mayoritas laki-laki yang datang membuatku memikirkan ulang kejadian ke depan. Sial! Tentu saja Laras akan menjadi pusat perhatian di sana.

Aku bergegas mengambil kaos oblong berwarna hitan, jaket, topi, kacamata dan masker. Semoga Laras tidak menyadari keberadaanku.

Aku mengambil kunci mobil, namun pergerakanku terhenti. Laras akan mengetahui aku membuntutinya dari kendaraan yang aku gunakan. Aku berjalan ke arah Parjo. Supirku.

"Parjo." panggilku.

Parjo sedang mencuci mobil, menghentikan kegiatannya lalu menunduk padaku. "Mau pergi, Pak?"

Aku menggeleng. "Bapak berangkat ke rumah saya memakai kendaraan apa?"

"Saya? Saya pakai motor PCX seperti biasa."

Aku mengeluarkan ponselku. "Boleh saya pinjam?" menggerakkan jariku untuk mengirim uang ke rekening Parjo.

"Tentu boleh." dia merogoh saku kemejanya. "Ini Pak kuncinya."

"Terima kasih, sudah saya transfer uangnya."

"Tidak usah Pak."

Aku hanya tersenyum singkat. Berjalan ke tempat parkir motor pekerja rumahku. Aku dapat mendengar suara pekikan Parjo dari belakang. "Pak Hardi, tujuh setengah juta terlalu banyak!"

"Tidak apa-apa. Anggap uang bensin." balasku sambil mengecek bensin di motor Parjo cukup untuk pergi ke tujuan. Untunglah bensinnya masih terisi penuh.

"Terima kasih Pak."

"Saya yang harusnya berterima kasih."

Aku menjalankan motor Parjo meninggalkan halaman rumah. Mengikuti mobil Lira yang berhenti di warung mie ayam dekat rumah. Aku menunggu di parkiran.

*****

Tanganku mengepal. Ada seorang pemuda berani-beraninya menganggu istriku. Dapat kulihat juga Laras nampak risi dengan gangguan pemuda itu.

Aku segera duduk di antara pemuda itu dan Laras. Istri mungilku melihatku intens selama lima menit. Dalam hati aku sudah ketar-ketir takut ketahuan.

Tapi setelah melihatnya menggeleng pelan lalu memusatkan perhatiannya pada pertandingan, aku dapat leluasa bernapas.

"Nomor punggung 17 keren banget, Ras!" seru Lira. Mata Laras menyipit, dia tersenyum samar. "Biasa aja. Kamu belum ketemu mantanku SMA dulu."

"Pak Ares?"

"Bukan. Dia mah ketua OSIS."

"Kalau gitu siapa Ras?"

Telingaku menajam. Apa-apaan mereka membicarakan pria lain di belakangku? Laras akan aku hukum nanti malam.

"Namanya Reza. Dia ketua tim basket sekolahku. Orangnya baik, ganteng sama pengertian banget."

D U D A  [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang