l i m a p u l u h 🎐

54.8K 4.6K 963
                                    

"Happy birthday Lira!" aku berlari kecil menubruk tubuh Lira. Dia mundur beberapa langkah karena seranganku.

"Makasih Laras." dia mengelus punggungku. "Lima novel jadi?"

"Dua puluh novel udah ada di depan. Semua itu belum kamu punya semua."

Dia memekik senang. Melepaskan pelukan kami lalu neninju udara saking senangnya.

"Halah, cuma novel aja seneng. Kado dari gue lo gak bilang makasih atau apapun." Adit datang, di genggamannya terdapat segelas sirup jeruk.

"Dih, siapa yang suruh Kak Adit ngado aku?" balas Lira sewot. "Lagian, undangan pesta ulang tahunku gak ada nama Kakak di daftar list. Penyusup!"

"Gue udah kasih kado, masa gak di undang. Papa lo sendiri aja undang gue langsung ke sini."

Lira menghentakkan kakinya. Dia berjalan menuju gerbang tempat pintu masuk. Dia menunggu Yudis datang. Terhitung tiga puluh menit pesta berlangsung, tapi Yudis belum datang.

Adit memperhatikan setiap gerak-gerik yang Lira lakukan. Tidak sedetik pun matanya melepaskan pandangannya pada Lira. Dia bilang menganggap Lira sebagai adik, namun perlakuannya menunjukkan bahwa Adit tidak menganggap Lira begitu.

"Jangan terlalu mengekang Lira. Dia butuh kebebasan." setelah mengambilkan aku kursi, Mas Hardi angkat bicara. Aku duduk di sampingnya. Mas Hardi meletakkan tangannya di pundakku. "Gue tau lo naruh alat pelacak di hp Lira. Gue juga tau lo punya beberapa suruhan untuk mengawasi pergerakan Lira.

"Lo gak tau apa yang Lira alami selama dia sekolah sampai gede. Gue ada alasan tersendiri."

Adit melakukan semua ini karena Lira sering kali di bully oleh teman-temannya. Dia juga bercerita Lira pernah sengaja di kunci di gudang. Dari situ Adit mulai melindungi Lira. Apalagi saat Lira SMP dan Adit sudah bekerja, Lira hampir dilecehkan gurunya sendiri di kelas.

Sejak saat itu Adit semakin protektif pada Lira. Aku menyimpulkan rasa yang Adit rasakan dulu ketika Lira masih kecil dan sekarang itu berbeda. Ayolah, dilihat dari tatapan juga semua orang bisa tahu apa yang dirasakan Adit ke Lira.

"Memang apa yang dia alami?"

"Lo terlalu sibuk jadi anak ambis sampai lupa sama Lira."

"Udah guys, jangan berantem." aku melerai adu percakapan mereka. Adit sudah memperlihatkan gelagat tak mengenakkan jika membahas soal Lira. "Mas, aku mau makan. Tolong ambilin."

"Selama ini lo ngawasi Lira?" sambil menunggu Mas Hardi mengantre makanan. Aku menuntut jawaban dari Adit.

"Ya."

"Dari dia kecil sampai sekarang?"

"Ya."

"Dit, lo kelewatan. Lira bisa jaga diri. Umurnya udah 26 tahun."

"Bagi gue Lira sama aja. Dia perlu pengawasan."

"Ada Yudis." jawabku mampu membuat raut mukanya berubah. Dia lihat dia mencengkeram gelas di tangannya erat.

"Dia cuma pacar Lira." balas Adit datar.

"Emang lo siapanya Lira?"

"Gue mau makan dulu. Lo di sini aja, bentar lagi palingan Hardi balik." dia melenggang pergi dari hadapanku. Dia bilang Lira seperti adiknya sendiri, kenapa dia marah aku mengingatkan posisi dia bukan siapa-siapa Lira?

Jalan pikiran lelaki memang membagongkan.

"Adit kemana?" Mas Hardi menuntunku berpindah tempat duduk di pinggir taman.

D U D A  [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang