d u a p u l u h d e l a p a n 🌻

71.5K 5.9K 357
                                    

Benarkah umurku ini 26 tahun? Atau 17 tahun? Pesta yang diselenggarakan Mas Hardi lebih menjurus ke pesta sweet seventeen daripada wanita dewasa berumur 26 tahun.

Semua tamu undangan memuji pesta ulang tahunku. Aku hanya tersenyum menjawabnya dan menahan berat di kepalaku yang terpasang mahkota.

"Mirip pesta sweet seventeen ya Ras." Elle membawa gelas berisi Coca Cola.

Sekarang Sita yang menghampiri kami. Dia memutar tubuhnya ke kanan dan ke kiri. "Bagus parah nih. Seromantis-romantisnya Mas Adrian. Dia gak pernah bikin pesta ulang tahun gue jadi gini."

"Suami lo punya cara sendiri. Setiap orang beda-beda, jangan banding bandingin suami lo sama Mas Hardi. Gak enak kalau Bang Adrian denger." balasku tenang.

Sita menyengir lebar. "Lo undang Devica gak?" tanya Sita, aku mengangguk. Semua teman SMA-ku hampir semua aku undang. "Lo inget gak Ras? Dia yang pernah marah-marah sama lo karena Reza lebih milih lo dibandingin dia."

"Kejadian itu udah lama, gue lupa."

"Kita masuk ke acara inti ya guys. Laras dipersilakan ke panggung untuk berdansa dengan Hardi." suara MC terdengar nyaring. Aku menoleh ke arah lantai dansa, Mas Hardi berdiri di sana menungguku menghampirinya.

Suara siulan bersahutan di gedung. Aku berjalan ke arah lantai dansa, sebelum itu aku menyerahkan sebuket bunga mawar ke Sita.

Aku menerima uluran tangan Mas Hardi. Dia menarik pinggangku mendekat, tanganku dikalungkan ke tengkuknya.

"Pestanya mewah banget." ucapku.

"Kalau kamu suka kita bisa setiap tahun merayakan ini."

Aku reflek menggeleng. Pesta semegah keinginanku perlu merogoh kocek sebesar lima ratus juta rupiah. Mungkin uang segitu akan aku sumbangkan ke orang yang lebih membutuhkan daripada kesenangan sesaat.

Aku memutar tubuhku mengikuti alunan musik. Gemuruh suara tepuk tangan memenuhi telingaku. Aku dan Mas Hardi terus menari hingga lagu selesai. Aku turun dari panggung dansa bersama Mas Hardi.

Aku mendekati kedua sahabatku. Mereka tertawa sambil bertepuk tangan. Aku masuk ke dalam kumpulan kedua orang itu, membicarakan hal-hal yang tidak penting.

"Laras. Setelah sempat ambil Reza dari gue. Lo akhirnya dapat laki yang kayaknya berduit. Tampang pas-pasan lo bisa dapet cowok kaya juga ya." tak diundang keberadaannya, Devica datang sendirian. Berucap nyinyir tanpa dipancing.

"Iri? Bilang Bos." balas Sita.

"Devica woy, wake up. Sadar diri sama muka, sok-sokan bilang muka Laras pas-pasan. Terus muka lo apa? Dibawah rata-rata?" sindir Elle. "Maaf ye Dev, jangan tersinggung."

"Ngomong sama temen lo, jangan jual murah." balas Devica.

Aku hanya terdiam, menyimak ucapan pedas mereka satu sama lain. Aku tidak pernah menggubris kalimat Devica dari SMA.

"Bukannya lo yang selalu pasang harga murah? Suami lo kerja dimana?" tanya Sita sinis. "Sombong amat."

"Suami gue kerja di jadi manager Dirgantara's Group. Sorry, kalian gak level sama gue."

Aku tersenyum dalam hati. Digantara's Group, itu perusahaan milik Mas Hardi yang bekerja di bidang manufaktur, pemasaran dan distribusi barang konsumsi termasuk sabun, deterjen, margarin, makanan berbasis susu, es krim, produk kosmetik, minuman berbasis teh dan jus buah.

Benar, aku tidak selevel dengan Devica. Dia berada jauh di bawahku.

Suami Devica bekerja di perusahaan suamiku. Aku ngakak dalam hati. Baru kali ini, jadi kacung bangga.

D U D A  [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang