"Laras, sebentar." Mas Hardi menahan pundakku. Aku hendak turun dari mobil.
"Ya?"
Mas Hardi mendekatkan wajahnya ke leherku lalu mencium leherku dengan sedikit hisapan.
"Ngapain Mas?"
"Gak apa-apa. Tadi ada saus." jawabnya. Kami baru selesai makan malam di restoran langganan suamiku. Baik sekali Mas Hardi mau membersihkan sisa saus di leherku. Kalau tidak ada dia pasti aku malu.
Aku turun dari mobil bersama Mas Hardi, Mas Hardi menyuruhku mengucir sedikit rambutku namun tak memperlihatkan seluruh leherku. Aku tidak tahu apa tujuannya, tapi aku menuruti omongannya.
Mas Hardi bertanya tempat Lintang dirawat. Setelah mendapatkan jawaban, dia merangkul pinggangku erat. Mata suster, pasien, orang yang menjenguk maupun dokter berjalan melewati kami, sekilas memandang leherku.
"Di leherku ada apa Mas?"
"Mereka bukan melihat lehermu. Tenang saja." Mas Hardi tersenyum singkat. "Mereka melihat kita pasangan yang cocok."
Aku tersenyum, tentu saja mereka merasa kami cocok. Aku cantik dan Mas Hardi tampan. Ya, aku selalu merasa diriku cantik. Aku bukan orang munafik yang sebenarnya cantik tapi selalu bicara seolah wajahku ini kentang lalu membuat orang lain insecure.
Aku dan Mas Hardi berhenti di depan pintu rawat inap Lintang. Aku menghembuskan napas pelan, tanganku mendorong pintu itu. Semua mata di ruangan Lintang menatapku dan suamiku.
"Laras." ucap Lintang, wajahnya pucat. Tubuhnya bertambah kurus dari terakhir kali kami bertemu.
"Kamu di sini?"
Mas Hardi berdecih sinis. Dia mengeratkan pelukannya di pinggangku. Aku duduk di samping ranjang Lintang, dia terus menatapku seolah jika dia berkedip aku akan hilang.
"Lo sakit apa?"
"Demam berdarah."
Mas Hardi berdiri menjulang di sampingku. "Lo gak mau makan?" Tante Sarah berkata kalau Lintang tidak mau makan. Kekanakan memang, tapi di antara kalian ada yang mengasihani Lintang. Jadi bingung mau ngatain atau ngasihani.
"Aku gak mau makan kalau gak dari tangan kamu."
Tangan Mas Hardi mengepal di pundakku, aku menahan tubuhnya yang hendak maju. "Lintang, lo punya tangan. Kenapa gak makan sendiri?" tanyaku mencoba tenang. Dalam hati aku ingin mengumpat. "Sekarang gue di sini. Lo bisa makan sendiri, gue lihatin."
"Aku tetep mau makan dari tangan kamu."
"Semakin lama kamu semakin tidak tahu diri ya Lintang." sahut Mas Hardi.
"Kalau keberatan, pintu keluar sebelah sana." jawab Lintang. Aku melotot tajam padanya, dia tidak tahu diri. Kalau Mas Hardi tidak menyetujui aku di sini, aku juga tak akan menjenguknya.
"Jaga omongan lo." sentakku. Dia tersentak kaget ketika aku bangkit dari tempat dudukku. "Gue bisa ke sini gara-gara persetujuan Mas Hardi. Harusnya lo tau diri, bukan ngusir dia seenaknya. Inget Tang, dia suami gue. Lo bukan siapa-siapa gue."
"Kamu pasti terpaksa nikah sama dia!" balas Lintang nyolot. Aku baru menyadari ternyata Lintang sangat menyebalkan. "Aku yakin dia gak tahu apapun tentang kamu!"
"Siapa bilang?!" tanyaku kesal.
"Hardi. Apa kamu tau makanan laut kesukaan Laras?" mata Lintang beralih ke Mas Hardi.
"Udang." jawab Mas Hardi mantap.
"See Laras. Dia gak tau apapun tentang kamu. Kamu gak suka udang, makanan laut kesukaan kamu itu kerang!" balas Lintang sambil tersenyum miring. "Dan kamu cuma cinta sama aku! Kamu gak cinta sama dia!"
KAMU SEDANG MEMBACA
D U D A [END]
Romance[Sebelum membaca follow akun ini dulu] Margaretha Larasati. Dia bukan tipe gadis yang sangat rajin. Bukan gadis yang pintar memasak seperti kedua sahabatnya. Namun Laras adalah gadis yang paling santuy. Laras tidak suka kehidupannya diurusi oleh...