"Dia kenapa harus di undang juga?!" Lira memekik tidak terima.
Selang sebulan kepulanganku dari rumah sakit. Aku mengadakan makan malam bersama. Tidak terlalu banyak, hanya ada Elle, Derren, Mas Hardi, Lira dan Adit. Sita bersama Bang Adrian sudah kembali ke Jogja, mereka tidak bisa terus berada di Jakarta karena Kevin tidak bisa ijin sekolah terlalu lama.
Sebenarnya Sita bisa sendirian ke sini. Namun aku tak enak pada Bang Adrian, Sita sudah terlalu sering pulang pergi ke Jakarta.
"Kamu itu punya masalah apa dengan Adit, Lira?" Mas Hardi jengah. Dia bingung, sikap Lira seolah menganggap Adit sebuah ancaman.
"Banyak! Lagian, Laras. Kenapa harus undang dia?"
"Adit temen kita sekarang." aku tersenyum menjawab pertanyaan Lira.
"Lo kayaknya masih dendam sama gue." Adit angkat bicara. "Gue dulu suka jailin lo karena lo itu polos menjurus bego."
Lira melengos tak suka. "Tuh kan Ras. Dia nggak berubah dari dulu. Tetep ngeselin."
Aku tertawa, melanjutkan kegiatanku. Adit masih terus menggoda Lira dan gadis itu geram sampai melempar Adit menggunakan sendok bersih.
Aku merasakan perutku bergejolak, aku menutup mulutku lalu berlari ke kamar mandi. Mas Hardi ikut panik melihatku berlari ke kamar mandi.
"Laras!"
Aku menahan tubuhnya yang hendak maju. Takut dia jijik melihat keadaanku yang sedang muntah-muntah. "Di sana aja Mas. Aku baru muntah."
Mas Hardi tak mengindahkan perintahku. Dia maju, memegang rambutku lalu mengurut tengkukku.
"Kamu salah makan?" tanya Mas Hardi lembut.
Aku membasuh mulutku, lalu membalas. "Enggak. Aku dari kemarin makan makanan sehat terus." aku kembali mengingatkan makanan apa yang masuk ke lambungku. "Mungkin aku masuk angin."
Aku mengusap mulutku menggunakan tisu. Setelah aku berdiri di depan Mas Hardi, dia menggendong tubuhku. Membawa kami ke kamar—tak perduli dengan pandangan orang-orang di ruang makan.
"Laras sedang sakit. Kalian lanjutkan makan malamnya." ucapnya sebelum masuk ke dalam lift.
"Laras sakit apa?!" Lira berteriak, dia sangat khawatir dengan keadaanku.
"Masuk angin!" balasku keras.
Mas Hardi masuk ke dalam kamar. Dia membaringkan tubuhku sangat hati-hati. Dia mengelus pipiku setelah kami berada di ranjang.
"Aku masuk angin." aku menyentuh tangannya di pipiku.
"Jaga kesehatan. Jangan sakit." Mas Hardi mencium keningku. "Mas bakalan panggil dokter."
"Gak usah. Aku cuma masuk angin biasa. Istirahat sama minum tolak angin juga udah baikan."
Mas Hardi beranjak dari ranjang. Mengambil minyak kayu putih di dalam rak meja. Dia mendekati aku, hidungku berkedut saat mencium bau minyak kayu putih.
Mas Hardi mengusap perut berganti ke leherku. Dia menaikkan selimut, menyuruhku tidur. Dia mengelus kepala sesekali memijat pelipisku. Kenyamanan karena perbuatan Mas Hardi membuatku tertidur pulas.
*****
Negatif.
Aku menangis di dalam kamar mandi. Aku kira penyebab muntah-muntah kemarin adalah aku sedang mengandung. Ternyata tidak. Aku benar-benar sedang masuk angin.
Aku membuang alat uji kehamilan ke dalam tong sampah kamar mandi. Kakiku bergerak lunglai keluar dari kamar mandi dengan air mata yang masih mengalir. Sudah hampir setahun namun aku belum juga diberi momongan. Sita yang dulu baru menikah dua bulan langsung dapat, aku harus menunggu berapa lama lagi?
Aku subur, tidak ada masalah apapun di rahimku. Mas Hardi juga subur, lalu letak kesalahannya di mana?
"Laras?" Mas Hardi panik melihatku menangis. Dia menghampiri aku yang hampir terjatuh di lantai marmer kamar.
"Kenapa, Sayang?" dia menuntun tubuhku duduk di sofa. Aku menggenggam tangan Mas Hardi.
"Hasilnya negatif."
"Apa yang negatif?"
"Test pack."
Kepanikan Mas Hardi berangsur menghilang. "Tidak apa-apa." dia membawaku ke dalam dekapannya. "Kamu jangan stres karena memikirkan ini." aku balas memeluknya erat. "Mas menikahi kamu bukan untuk menuntut anak. Walau kita tidak diberi nantinya, Mas akan selalu bersama kamu. Margaretha Larasati, wanita yang Mas inginkan untuk terus hidup bersama. Anak itu titipan. Bukan keharusan."
Tangisku bertambah deras. Kebaikan apa yang aku lakukan sampai mendapat mertua dan suami sebaik Mas Hardi dan Mama Jena.
"Kalau suatu saat aku hamil Mas senang gak?"
"Mas pasti sangat bahagia. Wanita yang Mas cintai mengandung anak Mas."
"Mas gak akan cuekin aku?"
"Mana mungkin Mas mengabaikan wanita yang mengandung darah daging Mas." dia menjawab tegas. Cih, apakah Mas Hardi lupa yang dia lakukan pada Nadira.
"Waktu Nadira hamil kenapa Mas gak perduli sama dia?" sendirku. "Aku gak mau ya cuma transferan yang lancar tapi Mas gak siaga. Lisa lahir aja Mas gak ada di samping Nadira."
"Kamu tau dari siapa?"
"Lira." sahutku polos.
Dia menggaruk tengkuknya. "Soal itu, Mas pikir dengan menambahkan jatah bulanan Nadira, dia sudah senang. Lagipula proses lahiran Nadira, selingkuhannya menemani dia." akhir kalimatnya, Mas Hardi tersenyum kecut.
"Makanya kalau besok aku hamil. Yang nemenin aku lahiran Mas Hardi, soalnya aku gak punya selingkuhan. Sama sekali gak minat juga."
"Tanpa kamu meminta, Mas juga akan melakukan hal itu."
Membayangkan masa kehamilan Nadira yang berat. Aku iba padanya, cuma karena ingin mengusai harta suamiku. Dia rela mengorbankan diri, sayangnya Mas Hardi tidak meliriknya sama sekali. Untung sifat Nadira tidak ada yang menurun ke Lisa.
"Kalau besok anakku cowok. Langsung aku ajarin dia bela diri dari umur 6 tahun." tukasku. Mas Hardi mengangguk setuju. "Mas juga akan mengajari dia beberapa senjata. Seperti pedang, pistol atau memanah. Kalau sudah menginjak bangku SMP."
"Mas bisa main tembak-tembakan?"
Dia mengangguk. "Menembak di mana dulu? Di dalam atau di luar?"
Otakku traveling.
"Maksudnya pakai senjata beneran. Bukan pakai Kiko."
Mulanya Mas Hardi tidak memiliki nama untuk asetnya. Namun ketika aku melihat beberapa vidio di Tiktok, kebanyakan laki-laki mempunyai nama tersendiri untuk aset mereka. Dari sana aku berinisiatif sendiri menamai milik suamiku. Bangganya aku.
Kalian tahu, Kiko enak tau. Dari sana aku mendapat pencerahan memberi nama Kiko pada aset suamiku. Atau Rucika? Kan mereka sama-sama mengalir sampai jauh.
Dan jangan lupakan nama asetku bernama Ketty.
"Mas tidak sehebat kamu dalam bela diri. Tapi Mas pandai dalam menggunakan senjata. Memanah, menembak atau bermain pedang."
"Impresif." komentarku.
*****
Bangga karena prestasi ✖️
Bangga karena orang pertama yg namain aset suaminya ✔️
Aku: jomblo nyimak ke-uwu-an ✅
KAMU SEDANG MEMBACA
D U D A [END]
Romance[Sebelum membaca follow akun ini dulu] Margaretha Larasati. Dia bukan tipe gadis yang sangat rajin. Bukan gadis yang pintar memasak seperti kedua sahabatnya. Namun Laras adalah gadis yang paling santuy. Laras tidak suka kehidupannya diurusi oleh...