Baju pengantin sudah melekat di tubuhku. Aku menatap pantulan diriku di cermin. Sebentar lagi aku akan menjadi seorang istri. Suara ketukan pintu membuyarkan lamunanku. Aku tersenyum pada Sita dan Elle yang masuk ke dalam ruangan tempatku di rias.
"Seriusan, gue pangling." Elle mendekat padaku. Ia memperhatikan diriku dari cermin.
"Cantik bener." puji Sita. Aku tersenyum sombong pada mereka.
Sebelum kedua sahabatku ini datang. Ayah dan Ibuku sudah terlebih dahulu menemuiku dan memberikan wejangan. Sekarang aku harus mendengar wejangan lagi dari Sita—Elle tidak termasuk karena dia belum menikah.
"Ras." Sita menatapku serius. Walau Sita lebih muda 3 bulan dariku. Setelah menikah ia jadi terlihat lebih dewasa. "Nikah itu gak segampang yang anak SMA pikir."
Elle menggeplak kepala Sita dari belakang. Hilang sudah suasana serius di ruangan ini. "Kok sampai ke anak SMA sih Nyet."
"Loh, anak SMA kalau udah gak kuat sama tugas pasti apa-apa kepengen nikah. Emang dipikir nikah itu gampang." Sita menampilkan wajah konyol.
Aku lupa jika kedua sahabatku ini tidak bisa diajak serius. "Guys. Gue mau nikah sekarang. Kalian masih sempat-sempatnya berantem. Seriously?"
Sita berdeham. "Lo sama Lintang harus saling percaya. Kecuali kalau dia selingkuh, tinggalin langsung. Cerai. Bubar."
"Congor lo ye Ta. Minta gue gampar." aku menoyor kepala Sita.
"Gue cuma sedia payung sebelum pelangi." balas Sita polos. Tampol sahabat sendiri gak dilarang kan?
"Dahlah. Gak ada yang bener." sahutku malas.
"Intinya gini Ras. Gimana ya Ras. Gue sendiri bingung mau ngomong apaan. Lo tau semua kejadian di dalam rumah tangga gue dan gue harap lo bisa ngambil pelajaran dari persoalan rumah tangga gue."
"Gue juga gak butuh ceramah dari kalian sebenernya. Wejangan dari kalian gak ada yang bener, jadi gak pernah gue dengerin." ucapku. Kali ini Elle memukul punggungku.
"Satu lagi Ras!" Sita berseru nyaring.
"Apa lagi?"
"Semangat kerja rodi!"
"Kerja rodi?" aku membeo. Kerja rodi apanya? Masa pemerintahan kolonial Hindia-Belanda sudah berlalu.
"Ngewe."
Yang aku maksudkan Sita bertambah dewasa. Yaitu pada cara bicaranya yang sering membicarakan masalah 'ranjang' bersama suaminya padaku.
"Nanti kasih tau gue ya Ras." ucap Elle. Ini lagi satu perawan otak kotor. Badan di Indonesia tapi otak selalu traveling.
"Gampang. Nanti gue vidioin."
"Buset." Elle memberikan jempolnya. "Sip. Nanti gue tonton."
"Laras sudah selesai bicaranya?" kepala Ayahku menyembul dari pintu. Memeriksa apakah aku sudah selesai berbicara dengan Elle dan Sita.
"Udah Yah." jawabku. "Tapi Ayah tunggu di luar dulu aja."
Saat aku berdiri, Sita memelukku erat dan berkata. "Akhirnya lo nikah Ras. Gak kayak Elle yang jadi perawan tua. Terharu gue."
Elle mengusap air di sudut matanya. "Gue tau lo terharu. Tapi jangan jatuhin gue juga anjrit."
"Maaf El kelepasan menghina."
Aku menggelengkan kepala. Melepas pelukan Sita di tubuhku. Kami berjalan keluar. Elle dan Sita menyingkir untuk duduk di kursi yang disediakan.
Aku menggandeng tangan Ayah. Sorot mata Ayahku memancarkan ketidak relaan putrinya akan menjadi tanggungjawab orang lain.
"Setelah ini, Ayah gak akan bisa dengar suara teriakan kamu lagi di rumah."
Aku memeluk tubuh Ayah. Seberapa keras ia mendidikku, tetap Ayah adalah orang yang paling menyanyangiku dan tidak bisa melihatku sedih.
"Baik-baik sama suami kamu ya Nak." Ayah mengelus punggungku. Rasanya aku ingin menangis, tapi takut make up jadi berantakan.
"Iya, Ayah tenang aja."
Ayah menuntunku berjalan masuk ke dalam gereja. Lampu yang menggantung, mengeluarkan cahaya berwarna kuning. Elle dan Sita yang saling berangkulan dan anak Sita—Kevin yang menatapku dengan senyuman lebar.
Tetapi lambat laun langkahku terasa berat. Cahaya lampu utama menyorot mataku sampai kepalaku terasa pening. Aku bahkan belum mencapai altar. Namun badanku lemas luar biasa.
Peganganku pada tangan Ayah bertambah erat. Ayah tidak paham keadaanku yang tiba-tiba dilanda pening berlebihan.
Ketika kakiku hampir mencapai Lintang. Tubuhku limbung dan terakhir yang aku dengar adalah teriakan heboh Ibu dan kedua sahabatku.
*****
"Maaf saya harus hal menyampaikan ini. Tapi hasil laporan dari rumah sakit menyatakan bahwa penyumbatan tuba falopi yang dialami saudari Margaretha Larasati membuatnya sulit untuk mempunyai keturunan."
Ucapan dokter beberapa jam lalu masih terngianga-ngiang di kepalaku. Acara pernikahan dibatalkan oleh Lintang secara sepihak dan aku terduduk di sofa ruang tamu bersama keluarga Lintang, keluargaku dan kedua sahabatku di sisi kakan dan kiriku.
"Lintang. Apa keputusan kamu?" tanyaku pada Lintang yang masih terus saja diam sehabis kembali dari gereja.
"Ras." Lintang menatapku. "Aku gak bisa."
Aku tersenyum kecut. Sudah menduga keputusan yang diambil oleh Lintang. "Karena aku gak bisa hamil?"
"Kamu tau aku anak tunggal. Aku harus punya anak untuk mewarisi semua perusahaan dan rumah sakit yang didirikan Kakekku."
"Tapi kita saling cinta. Segampang itu kamu mau kita berpisah."
"Cinta lama-lama akan luntur kalau kita gak bisa memiliki anak. Aku harap kamu mengerti yang aku maksud."
Hatiku serasa ditikam beberapa belati tak terlihat. Sakit. Hubungan selama empat tahun terbuang sia-sia karena hal ini.
"Apa kita gak bisa ambil anak dari panti asuhan?"
"Lintang harus mempunyai anaknya sendiri." Mama Sarah angkat bicara. Wanita itu tampaknya juga sangat sedih mengetahui kejadian ini.
Aku berlari masuk ke dalam kamarku. Melepas semua yang terpasang di rambutku. Menjatuhkan diriku di kasur dan menangis sepuasnya.
Mengapa aku yang harus mengalami hal ini? Sesusah itukah bersatu dengan orang yang aku cintai?
Tanpa sadar ada yang membuka pintu kamarku. Aku mendengar suara derap langkah kaki semakin dekat.
"Ras." suara lembut Sita dan usapan tangan Elle membuat tangisku semakin menjadi.
Aku membalikkan badanku. Duduk di tengah-tengah mereka. "Need hugs?" tanya Elle sambil merentangkan tangannya.
Aku merambat masuk ke dalam pelukan Elle. "Hati gue sakit El. Lintang gak bisa terima kekurangan gue. Cinta dia ternyata gak sebesar yang gue kira."
Sita mengelus lenganku. Mereka tidak mengeluarkan suara sama sekali.
"Kalau dia emang beneran cinta sama gue. Dia pasti perjuangin cinta kita buat terus sama-sama." ucapku lagi. "Gue kehilangan Lintang."
"Gue tau lo cewek yang kuat." aku merenggangkan pelukanku. Aku menghadap ke Sita. Dia menghapus sisa air mata di wajahku. "Lo gak perlu merasa kehilangan. Dia yang rugi udah menyia-nyiakan cewek sebaik dan setulus lo. Gue yakin tiba saatnya nanti dia akan mohon-mohon ke lo lagi."
Tidak ada yang salah dari ucapan Sita. Aku harus bisa melupakan apa yang terjadi—walau berat. Aku harus bangkit dan menata kembali masa depanku.
Meski tanpa Lintang di dalamnya.
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
D U D A [END]
Romance[Sebelum membaca follow akun ini dulu] Margaretha Larasati. Dia bukan tipe gadis yang sangat rajin. Bukan gadis yang pintar memasak seperti kedua sahabatnya. Namun Laras adalah gadis yang paling santuy. Laras tidak suka kehidupannya diurusi oleh...