Baru pengen double up.
******
Suasana tempat pemakaman Yudis berlangsung tenang. Lira diam, tak mengeluarkan sepatah katapun. Tapi aku tahu di balik itu semua terdapat kesakitan yang tidak bisa digambarkan bentuknya.
"Baby Girl." ketika acara pemakaman Yudis selesai Lira duduk di samping Adit. Biasanya dia akan berteriak menolak, sekarang dia hanya pasrah menerima.
Lira persis patung hidup.
Berulang kali aku membujuk Lira makan. Dari kemarin dia belum menelan makanan apapun, aku khawatir dia sakit.
Lira menggeleng. "Aku gak apa-apa Ras." setelah sekian lama, Lira membalas pertanyaanku.
"Gue suapin." ucap Adit.
"Gak lapar, Kak." Lira menolak sodoran sendok dari Adit.
"Gue tau lo kehilangan. Tapi pikirin kesehatan lo. Sebelumnya Yudis kan udah pamitan sama lo kalau dia bakalan pergi. Dia akan selalu ada buat lo dengan boneka yang lo simpan." sekali lagi Adit mencoba menyuapi Lira.
Lira menatap mata Adit. Mata itu menggambarkan bahwa sang pemilik benar-benar menyedihkan. "Sebaik apapun cara dia berpamitan, perpisahan tetap akan menyakitkan, Kak. Kakak gak tau rasanya karena selama ini Kakak gak pernah sungguh-sungguh mencintai perempuan."
Aku tertegun. Hening di seluruh penjuru rumah Lira. Gadis itu mengucapkan hal itu tanpa mengeluarkan air mata, namun rasa sakitnya tidak bisa dibendung lagi.
Tak akan pernah ada yang baik-baik saja jika itu tentang sebuah perpisahan.
"Lo boleh bilang gitu tentang gue." Adit meletakkan piring di tangannya ke meja. "Gue sekarang cuma minta, jangan siksa diri lo sendiri, Ra. Mata lo terlalu tertuju ke Yudis sampai lo lupa ada orang lain yang perduli sama lo."
Adit beranjak pergi ke taman rumah. Aku menggantikan posisi Adit duduk di samping Lira. Aku mengelus pundak Lira, Mas Hardi yang paham situasi—dia menghampiri Adit.
"Sini." aku melebarkan tanganku. Lira segera menyusup masuk ke dekapanku. "Keluarin semua yang kamu tahan."
Tidak perlu waktu lama, tubuh Lira bergetar karena tangis. "ARGHHH! SAKIT! Rasanya sakit, Ras. Sakit!" dia berteriak di dadaku. Aku membiarkan dia mengeluarkan semuanya.
"Kenapa Yudis harus pergi dengan cara ini?!"
Memang aku tak pernah mengalami ditinggal kekasih sampai sejauh ini. Jika Lira boleh memilih, dia mungkin lebih baik yang tersakiti melihat Yudis bersama wanita lain daripada melihat Yudis berbaring dengan tubuh pucat dan tak bernyawa.
"Perpisahan paling menyakitkan buat aku, Ras."
"Perpisahan gak ada yang menyenangkan, Lira." aku membelai lembut surai hitam Lira. "Kejadian Yudis meninggal itu takdir. Mau bagaimana pun caranya, Yudis pasti bakalan pergi. Kamu harus ikhlas."
Berbicara tidak semudah melakukan. Aku dulu yang jelas-jelas ditolak mentah-mentah Lintang saja mengalami sakit hati yang berlarut-larut. Bagaimana Lira, jelas-jelas mereka sudah menerima kekurangan satu sama lain, bahkan berencana menikah tahun depan.
"Yudis bakalan selalu ada di hati kamu." tangis Lira semakin kencang. "Kamu sendiri yang cerita. Kamu adalah cinta pertama Yudis dan kamu beruntung, kamu juga cinta terakhir dia."
"Apa salah aku mau sama dia Ras?" dia bergumam. "Aku sudah merencanakan gimana kita di masa depan. Semua hancur hari ini, gak bersisa." tangis Lira tak sekeras tadi. "Aku gak bermaksud nyinggung perasaan Kak Adit. Aku cuma kebawa suasana tadi."
KAMU SEDANG MEMBACA
D U D A [END]
Romance[Sebelum membaca follow akun ini dulu] Margaretha Larasati. Dia bukan tipe gadis yang sangat rajin. Bukan gadis yang pintar memasak seperti kedua sahabatnya. Namun Laras adalah gadis yang paling santuy. Laras tidak suka kehidupannya diurusi oleh...