l i m a p u l u h e m p a t 🎐

51.3K 5K 390
                                    

Aku duduk di pangkuan Mas Hardi. Dia memaksa aku menemaninya selagi dia bekerja. Aku menatap tak enak Dimas yang berdiri menghadap Mas Hardi, mau beranjak tapi dia menahanku.

"Bagaimana Dim?" tanya Mas Hardi datar.

"Renata dikabarkan gantung diri sebelum polisi menjemputnya, Pak."

"Mati gak?" aku menimpali.

"Alhamdulillah meninggal Bu."

"Syukurlah." aku menghembuskan napas pelan. "Meninggal karena apa?"

"Gantung diri."

"Maksud saya, hal yang mendasari dia gantung diri apa?"

"Semua orang menduga Renata gantung diri karena depresi yang dialaminya atau mungkin dia tidak mau masuk ke dalam penjara atas perbuatannya."

Aku melepaskan tanganku dari leher Mas Hardi namun ditahan pria itu. "Padahal kalau dia meninggal malah masuk sel neraka."

"Kamu boleh pergi, Dimas." ucap Mas Hardi. Dia menyandarkan kepalanya di pundakku lalu mengelus perutku.

Aku menguap lebar. Menyandarkan tubuhku pada bahu Mas Hardi. "Aku ngantuk, mau tidur."

Dia mengangkat tubuhku masuk ke dalam kamar pribadi yang sengaja di buat Mas Hardi yang semula gudang berkas menjadi sebuah kamar.

Kehamilanku berjalan lancar hanya trimester pertama aku mengalami mual dan sensitif terhadap beberapa bau. Waktu itu aku sempat menyuruh Mas Hardi tidur di kamar tamu yang berujung tak tega karena dia malah tidur di depan pintu kamar kami yang dingin.

Aku jarang sekali menginginkan makanan yang aneh. Malahan Mas Hardi yang suka meminta hal aneh pada pelayan di rumah, di jam yang tak normal pula.

Pernah saat itu Mas Hardi ingin makan cilok isi mozarella di jam setengah dua malam. Seluruh rumah heboh disebabkan teriakan suamiku. Mereka kira, mereka berbuat kesalahan fatal sampai di kumpulkan di ruang tengah.

Ternyata Mas Hardi hanya ingin cilok isi mozarella. Aku berharap anak laki-laki Mas Hardi dan diriku kelak menjadi laki-laki yang humoris, lembut dan ramah. Tidak seperti bapaknya.

Ya Tuhan, amit-amit. Sifat Mas Hardi bagi sebagian manusia di bumi sangat menyebalkan. Dia ketus, perkataannya pedas, tak pernah memikirkan perasaan orang lain selain orang yang dia cintai dan selera humornya sangat rendah seperti nilai sejarah lintas minatku ketika SMA dulu.

"Memikirkan apa?" Mas Hardi membaringkan tubuhku di ranjang.

"Nggak. Cuma mikir persalinan aku besok-besok gimana."

Mas Hardi duduk di sampingku. Mengecup dalam perutku. Reaksi bayi dalam kandunganku bergerak aktif merasakan sentuhan bapaknya.

"Mas selalu ketakutan setiap hari. Semakin besar kandungan kamu, bertambah dekat juga persalinan kamu nantinya. Mas berharap kamu selamat supaya kita bisa menjaga anak kita bersama-sama."

"Jelas aku selamat. Aku gak mau ya Mas jadi duda terus nanti nikah lagi. No, no, hal itu gak bakalan terjadi."

Mas Hardi terkekeh. Dia menempelkan telinganya di perutku. Aku mengelus rambut ikal suamiku.

"Sana kerja. Kemarin Sita kasih tahu aku, ada tas pengeluaran Dior terbaru. Aku mau ngasih Mama Jena tas itu."

"Harga berapa?"

Aku tertawa. Akhir-akhir ini aku suka sekali membeli barang tidak penting, namun Mas Hardi tak protes sepatah katapun.

"Gak sampai 95 juta kok. Masih aman."

D U D A  [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang