"Sayang, di rumah Tante Sita udah ada boneka. Lisa mau bawa boneka lagi?" aku mengelus rambut halus Lisa, kami sedang mempersiapkan apapun yang dibutuhkan anak itu selama di Jogja dengan koper pink-nya.
"Baju princess Lisa boleh di bawa, Ma?"
"Lisa bawa baju yang biasa di pakai aja, nanti beli baju princess di sana."
"Lisa boleh beli?"
Aku mengangguk. Aku menutup koper bergambar Ariel mermaid milik Lisa. Ia menaruh boneka beruang di atas koper.
"Lisa bawa bonekanya sendiri. Jangan minta tolong siapa-siapa ya?" tanyaku lembut.
"Iya."
"Janji sama Mama?" aku mencondongkan jari kelingkingku. Lisa mengaitkan jari kelingking kami. "Janji."
"Lisa baca-baca buku di sini. Mama mau nyiapin makan malam."
Lisa berjalan ke meja belajarnya. Aku melangkah menuju dapur, di luar hujan deras dan suhu di rumah ini menjadi lebih dingin. Aku memanggil 3 pelayan rumah, membantuku membawa kompor gas portable.
"Tolong bawakan tikar."
Mereka membawa satu tikar berukuran cukup besar ke teras. Menggelar tikar tersebut dan mengambilkan beberapa bungkus mie beserta sosis. Aku menyuruh mereka memanggil Mas Hardi dan Lisa keluar ke teras.
Saat aku membawa panci stainless steel berukuran lumayan besar ke atas kompor. Mas Hardi mengambil alih panci dari tanganku.
"Kita hari ini mau apa, Ma?" Lisa duduk di tengah-tengah karpet.
"Kita makan mie bareng-bareng di sini. Hujan-hujan paling enak makan mie rebus." jawabku. Aku mencubit pipi Lisa. "Lisa ke dalam ambil kaos kaki sama jaket. Di pakai, biar enggak kedinginan."
Lisa mengangguk masuk ke dalam kamarnya. Aku menatap kaki kecilnya yang berlari menjauh. Memandang raut wajah Lisa berseri-seri membuatku tersenyum.
"Sayurnya mau dimasukin kapan?" tahu-tahu Mas Hardi selesai memotong sayuran.
"Nanti aja setelah mie."
"Dapat ide dari mana kamu?" Mas Hardi membuka bungkus mie. Aku menata mangkuk di samping kompor.
"Biasanya kalau hujan, Ayah selalu ada ide buat kumpul keluarga. Ya salah satunya ini."
"Mau kita undang Ayah?" tanya Mas Hardi.
"Aku udah kirim chat tadi. Belum dijawab sama Ayah, mungkin baru kelonan sama Ibu."
Lisa datang dengan jaket, kaos kaki dan celana panjang. Dia duduk di sampingku. "Lisa udah selesai."
"Kalau Lisa masih kedinginan, bilang Mama."
Aku memasukkan mie ke dalam panci. Lalu disusul segala macam toping beserta suyuran. Lisa menggunting bumbu mie ke dalam mangkuk besar di tengah lingkaran antara Mas Hardi, Lisa dan aku.
Aku memindahkan air mendidih ke mangkuk. Sebelumnya aku sudah menyiapkan air matang di mangkuk samping kompor, aku tidak memakai air bekas rebusan mie.
"Besok kita berangkat jam berapa?" tanyaku pada Mas Hardi.
"Pagi." jawabnya.
Mas Hardi menyaring mie dan di masukkan ke dalam mangkuk. Lisa bertepuk tangan setelah mie tersaji. Kami menikmati hidangan bersama di temani hujan dan hawa dingin. Namun semua terasa menyenangkan.
Selesai makan, Lisa tertidur di pelukanku. Aku menepuk-nepuk lembut punggungnya.
Mas Hardi meminum kopi buatanku dan bertanya. "Jadinya kapan?"
"Apanya?"
"Project Adik Lisa."
Gerakan tanganku terhenti. Suamiku menyadari pergerakanku, secepat mungkin melanjutkan kalimatnya. "Mas tidak terburu-buru. Hanya ingin memastikan kapan kamu siap."
"Udah tujuh bulan setelah kita berhubungan sejak pertama kali. Aku belum hamil, Mas gak masalah kan?"
"Enggak sama sekali."
Aku dan Mas Hardi satu bulan yang lalu mengikuti tes kesuburan. Kami dinyatakan sehat dan subur, tidak ada masalah apapun padaku atau suamiku. Kata dokter mungkin belum waktunya Tuhan menitipkan momongan.
"Aku kira Mas keberatan soal aku yang belum hamil."
"Mas gak masalah sama sekali. Itu berarti tandanya kita harus berusaha lebih keras lagi."
"Wes, mulai."
Dia tersenyum mesum. Mirip Om-om pedofil. "Gak ada yang salah dari kalimat Mas tadi."
Aku menjambak rambutnya. "Keluarkan otakmu sekarang. Mau aku cuci biar bersih."
Mas Hardi terkekeh. Ia menyuruh pelayan membereskan sisa piring dan barang-barang yang sempat kami gunakan. Aku menyandarkan tubuhku ke dinding, begitu pula Mas Hardi. Lisa tertidur nyenyak, sama sekali tak terganggu dengan perbincanganku bersama Papanya.
"Kadang Mas gak menyangka. Kamu mau menerima Mas yang notabenenya duda beranak satu."
"Awalnya aku nikah sama Mas gara-gara mau jadi Ibunya Lisa. Bukan karena cinta sama Mas."
"Kenyataan dari mulut kamu sedikit menyakitkan ya Ras." Mas Hardi membawa tubuhku menyandar di dadanya. Sedangkan dadaku sebagai bantalan Lisa tidur.
"Kenyataan itu pahit. Kalau manis itu kebohongan. Makanya cowok sukanya janji manis. Alias bohong semua." curhatku.
"Kamu korban playboy?" dia tertawa.
"Mana ada mantan aku fuckboy. Mantan Sita tuh fuckboy semua."
Mas Hardi tersenyum tipis. "Kamu kedinginan?"
"Nggak. Peluk Lisa jadi gak kedinginan."
"Hujannya belum berhenti. Mas takut besok ada hujan."
"Berdoa besok cuaca cerah." jawabku. Aku mengambil jari Mas Hardi, menggenggam jari-jari panjang suamiku.
"Laras." ibu jarinya mengusap punggung tanganku.
"Apa?"
"Kamu bahagia bersama Mas?"
"Bahagia. Ditambah Lisa jadi semua udah lengkap." balasku.
"Terima kasih sudah memilih Mas."
Bahagia itu sederhana. Tergantung kita sendiri melihat dari sudut pandang mana. Aku setuju gagasan uang memang bukan segalanya tapi segalanya butuh uang. Tapi aku tak setuju jika ada yang mengatakan bahagia itu kalau kita memiliki banyak uang. Bahagia itu ketika kita bersama orang yang kita inginkan tanpa ada unsur memaksa.
Kuncinya kita harus merasa cukup untuk apa yang kita miliki sekarang. Sifat dasar manusia itu sebenarnya serakah, dia meminta A saat Tuhan memberinya. Maka dia akan berganti meminta B, seperti itu terus hingga walau kita memiliki dunia pun kita tak pernah merasa cukup.
"Aku merasa Mas lebih dari cukup. Aku gak membutuhkan hal lain."
*****
Ada yang udah bosen sama cerita ini?
Yang masih nunggu, ada?
KAMU SEDANG MEMBACA
D U D A [END]
Любовные романы[Sebelum membaca follow akun ini dulu] Margaretha Larasati. Dia bukan tipe gadis yang sangat rajin. Bukan gadis yang pintar memasak seperti kedua sahabatnya. Namun Laras adalah gadis yang paling santuy. Laras tidak suka kehidupannya diurusi oleh...